28 December 2016

Boxing Day, Saat yang Tepat untuk Meninggalkan dan Bersedih



Helow guys, Alhamdulillah akhirnya saya, Sandy Firdaus alias Turbo alias Sonay alias @sandi1750 bisa kembali memiliki waktu untuk mengisi blog yang sekarang sudah penuh oleh tulisan yang sifatnya hamblah-hamblah dan penuh dengan curhatan hati yang tidak penting ini. Namun meski tidak penting, saya beserta Zakky BM sebagai kontributor kedua di blog ini Inshaa Allah akan tetap berusaha untuk mengisi blog ini dengan tulisan-tulisan SARAT makna agar hidup pembaca semakin berwarna.

Okee, tanpa banyak lama langsung saja simak dengan seksama, boleh ditemani dengan kopi hitam plus rokok Gudang Garam Signature satu bungkus (bagi lah, euy) agar suasana lebih syahdu dan penuh ke-enjoyan-an yang HQQ.

Cekidot!

***

Sebelum menghayati tulisan yang akan saya tulis dengan sepenuh hati dan segenap jiwa ini, silakan hayati (bukan Hayati lelah, abang atau Hayati dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ya) lagu yang akan saya bagikan lewat tautan dari Youtube ini (kalem bukan videonya YoungLex ataupun Rich Chigga Richeese Nabati koq!).


Gimana? Sedih gak lagunya? Kalau saya dulu pertama kali denger langsung nangis loh, seriusan. Jis, ga nyangka Blink 182, band pop-punk itu bisa bikin lagu kaya gini, meski sebenarnya lagu mereka

21 December 2016

"Om Telolet Om', San Marino, Beserta Semua Kebahagiaan Sederhana Itu



Halo semua! Bertemu lagi dengan saya Sandy Firdaus a.k.a Sonay sebagai salah satu penulis, kontributor, atau entah apa namanya dari blog yang tak jelas juntrungannya ini. Eh, jelas deng, toh blog ini pada akhirnya membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan sepakbola dengan segala tetek-bengek, silang-sengkarut, dan kejadian yang ada di dalamnya. Mohon maaf jika saya lama tidak mengisi konten dari blog ini, Maklum bro kesibukan-kesibukan di luar sana membuat saya tidak berkesempatan untuk mengisi blog ini kembali.

Ehm, oke, cukup basa-basinya. Sekarang saya ingin sedikit kembali ngacablak dalam blog ini. Cuitan saya sekarang akan sedikit berhubungan dengan fenomena yang sempat menjadi tren jelang akhir tahun 2016. Apa itu?

Cekidot!

***

Pada Desember 2016. jagat dunia maya Indonesia diramaikan oleh kemunculan video yang menayangkan sekumpulan anak-anak di pinggir jalan, memegang banner atau spanduk yang terbuat

28 November 2016

Tsukamoto the Suffaco


Sebelum bulan November berganti menuju Desember, ada baiknya saya memulai mengisi laman blog Bendera-Offside ini setelah bulan Oktober lalu nyaris tak ada satu pun postingan. Mungkin kami berdua (saya Zakky, bersama si Sandi Sonay) ini sedang sibuk-sibuknya. Entah sibuk apa, yang jelas blog ini tercampakkan dan terlihat seperti seorang pria naïf yang mendekati gebetan namun akhirnya dia berpaling ke lain hati, uh... #naonlah

Pada awal-awal tayangnya blog ini, saya sempat menuliskan review dari anime sepakbola yang baru tayang pada 2016 ini dengan judul DAYS. Jika belum baca review ngacapruknya, klean semua bisa simak di sini. Saat itu baru berjalan 10 episode dan kini sudah mencapai 21 episode. Singkatnya, tiga pekan lagi kemungkinan anime DAYS season pertama ini akan segera usai tepat di episode 24.

Akhir pekan lalu, seperti biasa saya selalu stand-by untuk mengunduh per-episode dari serial DAYS ini. Tak sengaja mencuitkan opini perihal peran Tsukamoto Tsukushi pada episode 21 lalu di Twitter,

27 September 2016

Move On itu Mesti Kaffah dan Jangan Setengah-Setengah, seperti Pogba!



Halo pembaca sekalian! Berjumpa lagi dengan saya Mr. Firdaus alias kontributor tercinta sekaligus ngehe dari blog yang tak jelas juntrungannya ini. Setelah sempat vakum beberapa waktu menulis di blog yang saya ciptakan bersama Zakky BM ini (sebenarnya Zakky sih yang bikin, saya nyumbang kopi satu gelas aja), saya seperti ingin kembali mencurahkan ide keblinger dan aneh saya perihal tentang sepakbola. Kali ini, mari kita berbicara tentang move on, sesuatu yang gampang diungkapkan namun susah untuk dilakukan. Uhuk.

Okee, mari kita mulaii. Enk Ink Enk!!!!

Masalah cinta adalah masalah yang universal sekaligus evergreen, everlasting, dan sifatnya timeless, enak buat dibicarakan dari waktu ke waktu sembari menyeruput kopi hangat diiringi oleh satu batang

18 September 2016

Sepakbola, Ku Tetap Menunggu, dari Teh Ocha



Kali ini, sebelum saya mengungkapkan apa yang sekiranya perlu untuk diungkapkan, ada baiknya saya membagikan sebuah video kepada anda sekalian wahai para pria kesepian. Sedikit video dari Teh Ocha alias Rossa alias perempuan cantik dari Sumedang.

Ah, banyak cingcong dech. Oke, tanpa banyak buang waktu, cekidot!



Tah udah disetel belom videonya? Itu adalah salah satu video dari single Rossa berjudul Ku Menunggu. Gak tahu kapan saya rilisnya lagu tersebut, yang saya tahu, lagunya enak, punya lirik yang catchy dan gampang diingat, lalu tentu saja, imut dan cantiknya Teh Ocha itu loooh. Mana tahaaann!! (*Maaf pembaca sekalian, jomblo empat tahun dan menuju lima tahun).


15 September 2016

Prequel Tulisan Sandy Sonay; Nonton Liverpool padahal bukan penggemar Liverpool

Demi kenyamanan pembaca dan privasi penulis, maka beungeut saya dan sohib saya disamarkan saja kalu begitu...
Btw, saya yang berjaket hitam, rekan saya tentu yang berbaju Liverpool.


Perih, pak, perih! (Tolong, jika ada pertandingan Liverpool vs Arsenal lagi di TV, misalnya, jangan kasih tau si Sandy. Karunya!)

Ini adalah perihal perasaan yang dibalut dengan bal-balan. Semacam curhat terselubung yang bertemakan gagal move on. Sekadar info saja, Sandy Sonay ini tampaknya masih gagal move on.

Saran dari saya, sebagai veteran yang juga pernah gagal move on dari gebetan, ini adalah perihal serius, wahai Sandy. Jika anda sudah lewat dari dua tahun tapi masih saja mengharap si dia, segera tenggelamkan kepala anda ke dalam ember yang berisi adukan semen, niscaya rambut kribo anda jadi ngaheurasan

Coba ingat sabda Hachiman yang ini; “Selamanya memiliki ekspetasi (kepada gadis baik itu), maka selamanya kau akan selalu salah mengambil kesimpulan. Maka, dalam beberapa hal, kau lebih baik menyerah saja daripada mendapatkan janji dan hal-hal palsu.”

Oy, muqoddimah artikel macam apa ini, Zek…….

Mari dimulai saja kalau begitu.

***

Tepat tanggal 20 Juli 2013 lalu atau saat pra-musim klub-klub besar Eropa sedang bergulir, Liverpool berkunjung dan akan bertanding dengan tim yang bertajuk Indonesia Selection XI. Saat itu juga, beberapa kesebelasan Inggris lainnya seperti Arsenal dan Chelsea turut meramaikan musim panas kala itu.

Dengan rasa hormat, saya atas nama Zakky BM, sangat amat berterimakasih pada sohib saya Dandi Okto yang telah menghibahkan sebagian tiket Indonesia XI vs Liverpool saat itu. Karena faktanya, ini semua bisa terjadi dengan gak ada niat ataupun kesengajaan, hanya izin Tuhan YME saja yang mengatur semuanya. *benerin peci *plak...

Niat awal sang empunya tiket ini (Dandi) sih menonton Liverpool bareng dengan pasangannya, bukan dengan saya. Ini serius.  Berhubung ada halangan atau apalah itu, sang pasangan ternyata tidak bisa menemani sang empu tiket untuk ikut bersorak di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), 20 Juli 2013 lalu. Sayang sekali memang, tapi apa daya, faktor urusan keluarga lebih dikedepankan (katanya).

Saya, memang sempat memberi tahu kalau ada rombongan kampus yang mengatasnamakan Fans Klub Liverpool kampus UPI hendak berangkat bersama ke SUGBK untuk menonton aksi dari Srimu….Liverpool pastinya. Segala info registrasi hingga pembelian tiket saya yang saat itu menemani karena rekan saya (Dandi) tersebut memang tak gabung dengan komunitas pecinta Liverpool kampus tersebut. Mungkin, atas segala info yang saya banyak berikan, sisa kekosongan tiket ini akhirnya dihibahkan sebagai balas budi. Entahlah.

Langkah pertama tentu dimulai dari bertanya dan mencari info atas keberangkatan ke GBK ini. Maklum saja, jika tidak ikut rombongan kampus, maka ongkos dan transportasi akan banyak merogoh kantong mahasiswa dan yang jelas saya sendiri masih kelewat awam untuk berseliweran di Ibukota.

Singkat cerita, segala administrasi selesai, waktu berkumpul telah disepakati dan hari itu saya dan Dandi siap meng-ibukota-kan diri demi Liverpool. Berbekal kaos seadanya dan membawa bendera Indonesia (biar disangka nasionalis aja, sih), kami berangkat menuju SUGBK yang sakral itu.
Sebagai catatan, hari itu tepat sedang bulan puasa. Panas siang hari a la ibukota + sesak penonton + bulan puasa + tukang es asongan adalah paduan sempurna bagi mereka yang masih keukeuh puasa dan imannya kuat hari itu… 

Tidak seperti si Sandy Sonay yang tanpa dokumentasi, perjalanan ini lumayan banyak fotonya...

Sesampainya disana, lautan merah mulai memenuhi area SUGBK. Bukan, lautan merah itu datang bukan di prioritaskan untuk mendukung tim nasional. Saya yakin mereka memprioritaskan klub favoritnya untuk di dukung walaupun dari mereka yang mendukung klub Eropa, ada juga yang menyambi mendukung kemajuan tim nasional kita. Warna merah ala Liverpool yang tersebar di area SUGBK menjadi tidak ambigu karena warna ini indentik dengan warna kebesaran tim nasional kita, bahkan saya sempat melihat beberpa anak kecil atau bisa disebut anak jalanan sampai ibu-ibu pedagang yang rela memakai kostum kebesaran klub Eropa yang datang di hari itu.

Memang ada beberapa orang yang beratribut tim nasional, pemandangan tersebut menjadi pemandangan minoritas saja. Dan saya memang hari itu tidak memakai atribut seperti jersey tim nasional karena memang keterbatasan kemampuan dan kesempatan, hanya selembar kain keramat yang saya bawa, akan tetapi jika anda membawa uang lebih, disana banyak ditemui pedagang kaki lima yang berjajar di area parker sampai di ruas jalan menuju stadion yang menjajakan dagangannya berupa atribut tim nasional sampai dagangan utama hari itu, yaitu atribut tim Liverpool.

***

Matahari mulai menghilang, hujan sedikit banyak membasahi ibukota yang cukup panas dan gerah siang itu, saya mulai menepi dan beristirahat karena sudah melakukan “towaf” di pelataran GBK. Tak afdhol juga sebetulnya jika mengunjungi SUGBK, tapi tidak mencoba mengelilingi area stadion terbesar di Indonesia ini. Maklum saja, saya dan Dandi saat itu baru pertama kali menginjakan kaki di sana.

Hujan akhirnya mulai mereda di sore hari, animo penonton mulai memuncak, mereka datang dari berbagai daerah. Saya sempat melihat beberapa bentangan banner dan spanduk dari Bali, Lombok, Riau sampai Balikpapan, hanya saja saya belum melihat banner komunitas suporter darierr… tanah Papua dan sekitarnya. 

Seperti biasa, pikiran saya melayang jauh menerawang, andai saja FC Barcelona yang bermain di GBK, pasti tak jauh beda suasananya seperti hari ini. Yap, (mungkin) tak jauh berbeda.

Keriuhan mulai memuncak ketika adzan maghrib berkumandang. Ermwait, ini bukan sekumpulan orang yang hendak datang dengan acara utamanya buka puasa bersama, sih. Tapi memang ketika hari mulai gelap, kerumunan manusia ini mulai memuncak di gerbang menuju ke dalam stadion. Antrian mulai memanjang, chants mulai bergema lagi setelah sempat terhenti oleh rutinitas buka puasa, sampai dentuman lagu disco ajep-ajep di stand salah satu sponsor acara ini mengiringi antrian para fans yang berduyun-duyun memasuki stadion.

Ohya, dentuman lagu-lagu disco ajep-ajep itu dibumbui juga sexy dancer, loh! Untung saja udah buka puasa, zzz…

Sementara itu saya kebingungan dan terpisah dari rombongan, ah saya pikir tak apalah terpisah, memang itu niatnya. Tapi yang menjadi permasalahan malam itu adalah saya harus bertowaf lagi (berkeliling) untuk mencari gate mana yang menerima tiket kelas dhuafa a. k. a kelas tribun ini berada. Sungguh, hal ini membuat kaki kram setelah hampir setengah hari berdiri untuk berteduh menunggu hujan reda. Damn!

Stadion kebanggaan nasional yang berdaya tampung kurang lebih 80.000 kursi ini hampir ¾ nya terisi oleh pendukung dari Liverpool dan sedikit saja yang (mungkin) datang dari kaum-kaum pendukung tim nasional seperti saya malam itu. Banner-banner dukungan mulai terpasang dari sore hari, chants-chants khas Liverpool sudah bergema, red flare dan smoke bomb mulai menyala, teriakan dan tepuk tangan untuk kedua tim sudah mulai riuh. Benar-benar pengalaman pertama ke SUGBK disuguhi dengan atmosfir yang luar biasa. Ya walaupun yang bertanding bukan klub Eropa favorit saya, tak apalah, saya bertransformasi menjadi pendukung Indonesia Selection XI sahaja malam itu.

Hampir dua jam lebih saya berada diantara kerumunan fans Liverpool dan saya hanya beberapa kali bersorak, terutama ketika punggawa Indonesia XI mengancam gawang tim tamu. Sayang seribu sayang, permainan lumayan apik yang ditunjukkan anak buah dari Coach Papi Negro ini harus dua kali kebobolan oleh aksi tim tamu. Saya sih, hanya bisa diam dan kecewa. Player to Watch malam itu menurut saya adalah M. Taufik serta Titus Bonai a.k.a Tibo yang mampu membuat tim lawan kerepotan dengan segala akselerasinya.

Terlepas dari rasa nasionalisme, saya sebagai penikmat sepak bola, mengacungkan jempol untuk suporter klub Eropa yang satu ini, tetap loyal & kompak mendukung timnya dimanapun. Yang saya tahu dari klub Eropa hari ini yang bertanding, klub ini beberapa musim lalu mengalami naik turun prestasi dan inkonsistensi penampilan di liga lokal dan kancah Eropa, tapi hal ini tidak menyurutkan kecintaan mereka terhadap klubnya.

Suasana sesak stadion utama GBK dari tribun atas...

Dari mulai bapak-bapak yang sudah berumur, para pemuda tanggung seumuran seperti saya sampai dedek-dedek-remaja-putri juga membaur di fans klub Liverpool tersebut. Ah iya, saya terusik sedikit dengan keberadaan dedek-dedek- remaja-putri di klub tersebut. (Mungkin) mereka loyal terhadap ke klub ini sih tak jauh karena memang mengidolakan kapten dari klub ini, atau err mereka hanya ikut-ikutan pasangan lelakinya yang juga memfavoritkan klub ini. Karena jika para wanita itu mengidolakan Liverpool dari selain kedua faktor tadi, sangatlah langka sekali. Ini disebabkan memang karena keadaan Liverpool dalam beberapa tahun terakhir berada di jalur inkonsistensi.

***

Jika Sandy Sonay membahas ada fanatisme yang tak sampai atau bahkan berlebihan saat melakukan nobar di dalam ruangan tertutup yang bermodalkan layar lebar saja, maka saya akan membahas sebaliknya.

Mereka para suporter kesebelasan Eropa ini akhirnya memenuhi harapannya ketika tim kebanggaannya hadir di depan mata kepalanya sendiri. Mereka tak perlu bersorak-sorak, menyalakan suar sembari berjingkrak di depan layar. Ini adalah kesempatan langka. Anda tak perlu merogoh kocek anda terlalu dalam atau sampai coba-coba miara tuyul untuk pergi ke Eropa sana. Cukup ke Jakarta, semua masalah terselesaikan.

Dihadapkan dengan dua pilihan tim dalam satu waktu pertandingan tentu sulit. Indonesia Selection XI vs Liverpool adalah contoh nyata. Bagaimana perlakuan anda ketika anda sendiri orang Indonesia yang mencintai tim nasional dengan segala kebusukannya dan dihadapkan dengan klub Eropa kesayanagan? Nah, kelompok supporter Liverpool malam itu melakukan keduanya dengan sempurna. Nasionalis-Liverpoolis. (*istilah apa ini, zek?)

Laga dimulai dengan lagu kebangsaan Indonesia raya hingga dilanjutkan dengan nyanyian magis You’ll Never Walk Alone yang termasyhur itu. Dari “Ayo-ayo Indonesia” sampai chants Steven Gerrard menggema bergantian. Ada keselarasan yang cukup harmonis untuk mendukung dua kesebelasan dalam satu waktu.


Pada akhirnya, kini kita/saya merindukan lagi kesebelasan-kesebelasan Eropa lainnya untuk berkunjung ke Indonesia. Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya menonton Persib vs LA Galaxy dan PBR vs Sevilla pada kurun 2013 dan 2014 lalu. Ini semua salah PSSI. Salah mereka para bapak-bapak berkumis dan berkepala batu itu ribut-ribut berebut jabatan dan berpolitik dalam sepakbola. Sanksi FIFA beberapa waktu lalu adalah  akumulasi dari kedunguan mereka.

Jadi, intinya, salahin aja mereka! HIH!

*by: Zakky BM (@bmzakky)*

14 September 2016

Sepotong Kisah Dari Pajajaran Saat Nobar Liverpool



Atas permintaan dari rekan saya, orang yang menulis tentang ulasan anime Days, sebuah anime bertemakan sepakbola, akhirnya, saya pun menyumbangkan buah tulisan saya di sini perihal kicauan-kicauan mengenai dunia sepakbola beserta dengan isinya. Ini kicauan perdana saya, dan mari kita buka kicauan ini dengan bacaan basmalah, Bismillahirrohmanirrohim. .

Oke, beberapa waktu lalu, rekan saya meminta saya untuk menyumbang tulisan di blog ini. Ia mengusulkan agar saya membagikan pengalaman saya ketika ikut nonton bareng, atau lazim disebut nonbar (apa nobar, ya? ah entahlah) Liverpool vs Arsenal. Kejadian ini sudah berlangsung sekira dua tahun yang lalu. Kala itu, 2014, Liverpool memang sedang tampil apik-apiknya dengan si bomber tonggos mereka, Luis Suarez.


04 September 2016

Sebuah Ulasan: Anime Summer 2016 Bertema Sepakbola yang Berjudul “DAYS”

Kesebelasan sepak bola SMA Seiseki, protagonis dari anime DAYS

Baiklah, mari dimulai saja sesi ngacapruk kali ini...


01 September 2016

Muqoddimah Tentang Bendera Offside

Gambar percobaan bendera-offside dari mbak-mbak semlohay.
Dari ide gila yang tercetus di malam hari di wilayah Gegerkalong, tiba-tiba saja saat saya membuka mata di pagi harinya, blog abal-abal, hamblah-hamblah, bernama Bendera Offside ini tercipta. Lalu, rekan saya yang katanya berinisial Zakky BM ini pun menyarankan kepada saya agar membuat sebuah Muqoddimah tentang Bendera Offside ini. Waduh!

Woy Zak gua sibuk nih. Seenaknya aja lu nyuruh gua bikin Muqoddimah. Asem. Tapi, ya, tidak apa-apa. Lu terima jadi aja ya, gan, muqoddimah gua ini. Kalo lu berani utak-atik awas lu. Hehehehe...

Hah, muqoddimah. Muqoddimah kan artinya pembukaan/kata pengantar, berarti gua harus bikin kata pengantar buat blog ini dong. Hmm, seperti membuat buku saja. Tapi, yah, tidak apa-apa. Semoga saja nanti, bukan hanya kata pengantar blog ini saja yang kutulis, tapi kata pengantar buku-buku kenamaan.

Hmm, bendera offside yah. Kalau dipikir-pikir, nama yang muncul begitu saja saat dua orang sengklek berbincang-bincang di sebuah kafe, membicarakan tentang kehidupan yang tanpa ujung ini tak memiliki filosofi sama sekali. Tapi ah, tunggu dulu. Setelah dipikir-pikir, ternyata ada sebuah makna dalam di balik bendera offside ini.

Alkisah dalam sebuah pertandingan sepakbola, ada satu tim yang sedang menyerang. Tim tersebut menyerang dengan begitu rapi, dengan umpan-umpan pendek disertai pergerakan pemain yang mengalir begitu cair. Permainan dambaan semua orang, termasuk pelatih berlisensi KNVB itu. Tak terasa, umpan-umpan pendek sudah membawa tim tersebut mendekati tim lawan.

Namun, seketika tim yang menyerang rapi tersebut akan melanjutkan serangan, hakim garis yang berada di pinggir lapangan mengibarkan bendera pertanda salah satu pemain mereka, saat diberikan umpan, berada dalam posisi offside. Kesal? Tentu. Sebel? Sudah pasti. Tapi mereka tak bisa mengelak dari peraturan yang sudah dibuat FIFA sejak zaman dahulu kala ini. Serangan rapi mereka, permainan cantik yang mereka peragakan terhenti karena sebuah kibaran bendera bernama bendera offside.

Rasa sebal pemain yang terjebak offside ini mungkin sama halnya dengan rasa sebal orang kebanyakan saat berbicara tentang hal yang berkenaan dengan sepakbola. Sepakbola sekarang ini bukan hanya terpatok pada apa yang terjadi selama 90 menit di atas lapangan. Orang-orang perlahan mulai mengalihkan pandangan mereka kepada hal-hal di luar sepakbola, utamanya setelah muncul esais-esais bal-balan kenamaan semisal Zen RS ataupun Romo Sindhunata, yang berani mengait, menyilang-sengkarutkan sepakbola dengan hal-hal lain yang, ternyata memang nyambung.

Apalagi, setelah kemunculan media-media daring sepakbola anti-mainstream semisal Pandit Football ataupun Football Fandom, ataupun blog-blog ajib yang menceritakan sepakbola dari sudut pandang yang lain seperti Belakang Gawang, sepakbola tidak lagi hanya dilihat sebagai sebuah permainan yang melibatkan 22 orang di dalam lapangan. Sepakbola adalah bagian dari kehidupan, kalau kata Bill Shankly, lebih penting dari sekadar urusan hidup dan mati. Berat.

Tapi, meski sepakbola sekarang sudah mencakup aspek kehidupan yang lebih luas, tetap saja selalu ada pengibar-pengibar bendera offside yang berusaha untuk membuat sepakbola tetap menjadi sepakbola, tak melulu berkaitan dengan aspek-aspek yang lain. Hal ini begitu lazim dirasakan oleh orang-orang awam, kala mereka tidak bisa berbicara banyak mengenai sepakbola karena banyak pengibar bendera offside di sekitar mereka. Pelatih berlisensi KNVB itu misalkan. Sad...

Bergerak dari kerisauan akan hal tersebut, dan karena kami juga merasa bahwa kami ini orang-orang awam perihal sepakbola, maka, kami memutuskan untuk menciptakan blog hamblah-hamblah dan tidak jelas ini. Kami ingin bahwa, pendapat kami mengenai sepakbola di sekitar kami tidak dibatasi oleh bendera offside yang terkibar dari lengan orang lain.

Kami, sebagaimana para pundit yang kerap berkomentar di TV (kesukaan saya Binder Singh loh. Seriusan), juga ingin berkomentar perihal sepakbola yang sekarang sudah begitu luas dan tidak terpatok pada 100 m x 75 m saja. Kami juga ingin berkelakar mengenai sepakbola tanpa terhalangi oleh sekat-sekat tertentu, karena berdasarkan UUD 1945 pasal 28, negara ini membolehkan para warganya untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Akhir kata, semoga para pengunjung bendera-offside.blogspot.com ini bisa sedikit terhibur dengan kelakar-kelakar kami mengenai sepakbola. Izinkanlah kami di sini, menjadi pengibar bendera offside kami sendiri. Berpendapat dengan gaya dan ciri khas kami sendiri, meski kami awam yang, bahkan belum memiliki lisensi kepelatihan sama sekali.

Selamat menikmati isi-isi dari blog kami, dan semoga kalian terhibur, atau pun tercerahkan (saya yakin tidak) dengan kelakar-kelakar dari kami di blog ini.

Shalom dari wilayah Gegerkalong Girang

SF dan BM