|
Demi kenyamanan pembaca dan privasi penulis, maka beungeut saya dan sohib saya disamarkan saja kalu begitu... Btw, saya yang berjaket hitam, rekan saya tentu yang berbaju Liverpool. |
Perih, pak, perih!
(Tolong, jika ada pertandingan Liverpool vs Arsenal lagi di TV, misalnya,
jangan kasih tau si Sandy. Karunya!)
Ini adalah perihal
perasaan yang dibalut dengan bal-balan.
Semacam curhat terselubung yang bertemakan gagal move on. Sekadar info saja, Sandy Sonay ini tampaknya masih gagal move on.
Saran dari saya, sebagai
veteran yang juga pernah gagal move on
dari gebetan, ini adalah perihal serius, wahai Sandy. Jika anda sudah lewat
dari dua tahun tapi masih saja mengharap si dia, segera tenggelamkan kepala anda ke
dalam ember yang berisi adukan semen, niscaya rambut kribo anda jadi ngaheurasan…
Coba ingat sabda
Hachiman yang ini; “Selamanya memiliki
ekspetasi (kepada gadis baik itu), maka selamanya kau akan selalu salah
mengambil kesimpulan. Maka, dalam beberapa hal, kau lebih baik menyerah saja
daripada mendapatkan janji dan hal-hal palsu.”
Oy, muqoddimah artikel macam apa ini, Zek…….
Mari dimulai saja
kalau begitu.
***
Tepat tanggal 20 Juli
2013 lalu atau saat pra-musim klub-klub besar Eropa sedang bergulir, Liverpool berkunjung
dan akan bertanding dengan tim yang bertajuk Indonesia Selection XI. Saat itu
juga, beberapa kesebelasan Inggris lainnya seperti Arsenal dan Chelsea turut
meramaikan musim panas kala itu.
Dengan rasa hormat, saya atas nama Zakky BM, sangat
amat berterimakasih pada sohib saya Dandi Okto yang telah menghibahkan sebagian tiket
Indonesia XI vs Liverpool saat itu. Karena faktanya, ini semua bisa terjadi dengan gak ada niat ataupun kesengajaan, hanya
izin Tuhan YME saja yang mengatur semuanya. *benerin peci *plak...
Niat awal sang empunya tiket ini (Dandi) sih
menonton Liverpool bareng dengan pasangannya,
bukan dengan saya. Ini serius. Berhubung ada halangan
atau apalah itu, sang pasangan ternyata tidak bisa menemani sang empu tiket untuk ikut bersorak
di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), 20 Juli 2013 lalu. Sayang sekali memang, tapi apa daya, faktor urusan keluarga lebih
dikedepankan (katanya).
Saya, memang sempat memberi
tahu kalau ada rombongan kampus yang
mengatasnamakan Fans Klub Liverpool kampus UPI hendak berangkat bersama ke SUGBK untuk menonton aksi dari Srimu….Liverpool
pastinya. Segala info registrasi hingga pembelian tiket saya yang saat itu
menemani karena rekan saya (Dandi) tersebut memang tak gabung dengan komunitas
pecinta Liverpool kampus tersebut. Mungkin, atas segala info yang saya banyak
berikan, sisa kekosongan tiket ini akhirnya dihibahkan sebagai balas budi.
Entahlah.
Langkah pertama tentu dimulai dari bertanya dan mencari info atas keberangkatan ke GBK ini.
Maklum saja, jika tidak ikut rombongan kampus, maka ongkos dan transportasi
akan banyak merogoh kantong
mahasiswa dan
yang jelas saya sendiri masih kelewat awam untuk
berseliweran di Ibukota.
Singkat cerita, segala
administrasi selesai, waktu berkumpul telah disepakati dan hari itu saya dan
Dandi siap meng-ibukota-kan diri demi Liverpool. Berbekal kaos seadanya dan
membawa bendera Indonesia (biar disangka nasionalis aja, sih), kami berangkat menuju SUGBK yang sakral itu.
Sebagai catatan, hari
itu tepat sedang bulan puasa. Panas siang hari a la ibukota + sesak penonton + bulan puasa +
tukang es asongan adalah paduan sempurna bagi mereka yang masih keukeuh puasa dan imannya kuat hari
itu…
|
Tidak seperti si Sandy Sonay yang tanpa dokumentasi, perjalanan ini lumayan banyak fotonya... |
Sesampainya disana, lautan merah mulai
memenuhi area SUGBK. Bukan, lautan merah itu datang bukan di prioritaskan untuk
mendukung tim nasional. Saya yakin mereka memprioritaskan klub favoritnya untuk
di dukung walaupun dari mereka yang mendukung klub Eropa, ada juga yang
menyambi mendukung kemajuan tim nasional kita. Warna merah ala Liverpool yang
tersebar di area SUGBK menjadi tidak ambigu karena warna ini indentik dengan warna
kebesaran tim nasional kita, bahkan saya sempat melihat beberpa anak kecil atau
bisa disebut anak jalanan sampai ibu-ibu pedagang yang rela memakai kostum kebesaran klub Eropa
yang datang di hari itu.
Memang ada beberapa orang yang beratribut tim
nasional, pemandangan tersebut menjadi pemandangan minoritas saja. Dan saya
memang hari itu tidak memakai atribut seperti jersey tim nasional karena memang
keterbatasan kemampuan dan kesempatan, hanya selembar kain keramat yang saya
bawa, akan tetapi jika anda
membawa uang lebih, disana banyak ditemui pedagang kaki
lima yang berjajar di area parker sampai di ruas jalan menuju stadion yang
menjajakan dagangannya berupa atribut tim nasional sampai dagangan utama hari
itu, yaitu atribut tim Liverpool.
***
Matahari mulai menghilang, hujan sedikit
banyak membasahi ibukota yang cukup panas dan gerah siang itu, saya mulai
menepi dan beristirahat karena sudah melakukan “towaf” di pelataran GBK.
Tak afdhol juga
sebetulnya jika mengunjungi SUGBK, tapi tidak mencoba mengelilingi area stadion
terbesar di Indonesia ini. Maklum saja, saya dan Dandi saat itu baru pertama kali menginjakan kaki di sana.
Hujan akhirnya mulai mereda di sore hari, animo penonton mulai memuncak, mereka
datang dari berbagai daerah. Saya sempat melihat beberapa bentangan banner
dan spanduk dari Bali, Lombok, Riau sampai Balikpapan,
hanya saja saya belum melihat banner
komunitas suporter dari… err… tanah Papua
dan sekitarnya.
Seperti biasa, pikiran saya
melayang jauh menerawang, andai saja FC Barcelona yang bermain di GBK, pasti tak jauh beda suasananya seperti hari ini.
Yap, (mungkin) tak jauh berbeda.
Keriuhan mulai memuncak ketika adzan maghrib
berkumandang. Erm… wait,
ini bukan sekumpulan orang yang hendak datang dengan acara utamanya buka puasa
bersama, sih. Tapi memang ketika hari mulai gelap, kerumunan manusia ini mulai memuncak di gerbang menuju ke dalam
stadion. Antrian
mulai memanjang, chants mulai bergema
lagi setelah sempat terhenti oleh rutinitas buka puasa, sampai dentuman lagu disco ajep-ajep di stand salah satu sponsor
acara ini mengiringi antrian para fans yang berduyun-duyun memasuki stadion.
Ohya, dentuman lagu-lagu disco ajep-ajep itu dibumbui
juga sexy dancer, loh! Untung saja udah buka puasa, zzz…
Sementara itu saya kebingungan dan terpisah
dari rombongan, ah saya pikir tak apalah terpisah, memang itu niatnya. Tapi
yang menjadi permasalahan malam itu adalah saya harus bertowaf lagi (berkeliling) untuk mencari gate mana yang menerima tiket kelas dhuafa a. k. a kelas tribun ini berada.
Sungguh, hal
ini membuat kaki kram setelah hampir setengah hari berdiri
untuk berteduh menunggu hujan reda. Damn!
Stadion kebanggaan nasional yang berdaya
tampung kurang lebih 80.000 kursi ini hampir ¾ nya terisi oleh pendukung dari Liverpool dan sedikit saja yang (mungkin)
datang dari kaum-kaum pendukung tim nasional seperti saya malam
itu. Banner-banner dukungan mulai terpasang
dari sore hari, chants-chants khas Liverpool sudah bergema, red flare dan smoke bomb
mulai menyala, teriakan dan tepuk tangan untuk kedua tim sudah mulai riuh.
Benar-benar pengalaman pertama ke SUGBK disuguhi dengan atmosfir yang luar biasa. Ya walaupun yang
bertanding bukan klub Eropa favorit saya, tak apalah, saya bertransformasi
menjadi pendukung Indonesia Selection
XI sahaja malam itu.
Hampir dua jam lebih saya berada diantara kerumunan fans Liverpool dan saya hanya
beberapa kali bersorak, terutama ketika punggawa Indonesia XI mengancam gawang tim tamu.
Sayang seribu sayang, permainan lumayan
apik yang ditunjukkan anak buah dari Coach Papi Negro ini harus dua kali kebobolan oleh aksi tim tamu. Saya sih, hanya bisa diam dan
kecewa. Player to Watch malam itu menurut saya adalah
M. Taufik serta Titus Bonai a.k.a Tibo yang mampu membuat tim lawan kerepotan
dengan segala akselerasinya.
Terlepas dari rasa nasionalisme, saya sebagai penikmat sepak bola, mengacungkan jempol
untuk suporter klub Eropa yang satu ini, tetap loyal & kompak mendukung
timnya dimanapun. Yang saya tahu dari klub Eropa hari ini yang bertanding, klub ini beberapa musim
lalu mengalami naik turun prestasi dan inkonsistensi penampilan di liga lokal
dan kancah Eropa, tapi hal ini tidak menyurutkan kecintaan mereka terhadap
klubnya.
|
Suasana sesak stadion utama GBK dari tribun atas... |
Dari mulai bapak-bapak yang sudah berumur,
para pemuda tanggung seumuran seperti saya sampai dedek-dedek-remaja-putri juga membaur di
fans klub Liverpool tersebut. Ah iya, saya terusik sedikit dengan keberadaan dedek-dedek- remaja-putri di klub tersebut. (Mungkin) mereka loyal terhadap ke klub ini sih
tak jauh karena memang mengidolakan kapten dari klub ini, atau err… mereka hanya ikut-ikutan
pasangan lelakinya yang juga memfavoritkan klub ini. Karena jika para wanita
itu mengidolakan Liverpool dari selain kedua faktor tadi, sangatlah langka sekali.
Ini disebabkan memang
karena keadaan
Liverpool dalam beberapa tahun
terakhir berada di jalur inkonsistensi.
***
Jika Sandy Sonay
membahas ada fanatisme yang tak sampai atau bahkan berlebihan saat melakukan
nobar di dalam ruangan tertutup yang bermodalkan layar lebar saja, maka saya akan
membahas sebaliknya.
Mereka para suporter kesebelasan Eropa ini akhirnya
memenuhi harapannya ketika tim kebanggaannya hadir di depan mata kepalanya
sendiri. Mereka tak perlu bersorak-sorak, menyalakan suar sembari berjingkrak
di depan layar. Ini adalah kesempatan langka. Anda tak perlu merogoh kocek anda
terlalu dalam atau sampai coba-coba miara
tuyul untuk pergi ke Eropa sana. Cukup ke Jakarta, semua masalah terselesaikan.
Dihadapkan dengan dua
pilihan tim dalam satu waktu pertandingan tentu sulit. Indonesia Selection XI
vs Liverpool adalah contoh nyata. Bagaimana perlakuan anda ketika anda sendiri
orang Indonesia yang mencintai tim nasional dengan segala kebusukannya dan
dihadapkan dengan klub Eropa kesayanagan? Nah, kelompok supporter Liverpool
malam itu melakukan keduanya dengan sempurna. Nasionalis-Liverpoolis. (*istilah apa ini, zek?)
Laga dimulai dengan
lagu kebangsaan Indonesia raya hingga dilanjutkan dengan nyanyian magis You’ll Never Walk Alone yang termasyhur
itu. Dari “Ayo-ayo Indonesia” sampai chants
Steven Gerrard menggema bergantian. Ada keselarasan yang cukup harmonis untuk
mendukung dua kesebelasan dalam satu waktu.
Pada akhirnya, kini
kita/saya merindukan lagi kesebelasan-kesebelasan Eropa lainnya untuk
berkunjung ke Indonesia. Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya menonton Persib
vs LA Galaxy dan PBR vs Sevilla pada kurun 2013 dan 2014 lalu. Ini semua salah
PSSI. Salah mereka para bapak-bapak berkumis dan berkepala batu itu ribut-ribut
berebut jabatan dan berpolitik dalam sepakbola. Sanksi FIFA beberapa waktu lalu adalah akumulasi dari kedunguan
mereka.
Jadi, intinya, salahin aja mereka! HIH!
*by: Zakky BM (@bmzakky)*