Atas permintaan dari rekan saya, orang yang menulis tentang ulasan anime Days, sebuah anime bertemakan sepakbola, akhirnya, saya pun menyumbangkan buah tulisan saya di sini perihal kicauan-kicauan mengenai dunia sepakbola beserta dengan isinya. Ini kicauan perdana saya, dan mari kita buka kicauan ini dengan bacaan basmalah, Bismillahirrohmanirrohim. .
Oke, beberapa waktu lalu, rekan saya meminta saya untuk menyumbang tulisan di blog ini. Ia mengusulkan agar saya membagikan pengalaman saya ketika ikut nonton bareng, atau lazim disebut nonbar (apa nobar, ya? ah entahlah) Liverpool vs Arsenal. Kejadian ini sudah berlangsung sekira dua tahun yang lalu. Kala itu, 2014, Liverpool memang sedang tampil apik-apiknya dengan si bomber tonggos mereka, Luis Suarez.
Usai janji ketemu dengan teman yang akan nebeng motor saya, ehem, (teman saya itu cewek dan saya kebetulan naksir sama orangnya. Motivasi saya ikut nobar kali ini juga karena orang ini, suporter Liverpool cewek yang cukup fanatik yang saya lihat. Padahal, saya bukan suporter Liverpool loh, beneran!), kami pun bergegas untuk berkumpul bersama suporter Liverpool regional UPI (ketika itu saya masih mahasiswa). Setelah semua kumpul, kami pun langsung bergegas menuju GOR Pajajaran, tempat nobar dilangsungkan.
Perjalanan yang tidak terlalu jauh dari Setiabudhi ke Pajajaran pun sudah kami lewati. Singkat cerita, sampailah kami di venue nobar, dan di sana sudah banyak berkumpul. Sekilas saya juga melihat ada suporter Arsenal di situ. Setelah saya tanya, ternyata nobar hari ini juga dihadiri oleh anak-anak suporter Arsenal regional Bandung. "Oh, biar duduluran kali, yah," gumamku dalam hati kala itu.
Sesampainya di sana, kami pun langsung dihampiri oleh salah seorang punggawa suporter Liverpool regional Bandung (belakangan saya tahu kalau ia dekat dengan suporter Liverpool regional UPI karena punya rasa sama cewek yang juga saya suka, bangsyat!). Niatannya ketika itu menghampiri kami ternyata adalah untuk memberikan kami tiket masuk, dengan harga yang sudah di diskon, awalnya 20.000 menjadi 10.000 saja. Hah, ternyata anda ada gunanya juga ya, hahahaha.
Oke, singkat cerita kami pun memasuki tempat nobar yang sudah penuh sesak dengan suporter Liverpool dan Arsenal (FYI, suporter Arsenal cuma kebagian satu tribun doang. Ibaratnya, mereka itu kaya tim tandang gitu deh). Chant-chant berkumandang dan bergelora, dan saya pun lamat-lamat mengingat chant tersebut. Pokoknya pasti ada nama Liverpool dan Arsenal di dalamnya. Intinya, suasana begitu bergemuruh ketika itu.
(*Maaf, tidak menyertakan foto karena saya tidak mendokumentasikan saat ini karena ketiadaan kamera*)
Saya pun sibuk mencari tempat menonton yang enak. Suasana penuh sesak membuat saya sulit untuk mencari tempat nonton yang maknyus dan tidak bikin pegal kepala. Untuk sementara, teman yang nebeng dengan saya pun saya tinggalkan untuk sementara, membiarkan ia enjoy dengan teman-temannya menikmati suasana nobar. Ketika saya celingak-celinguk mencari tempat nonton, saya bersua teman satu kampus saya.
"Bro, lagi ngapain di sini?"
"Nobar coy. Biasa pedekate," saya bilang begitu karena ia tahu apa incaran saya malam itu.
"Edan edaan. Hayu sama urang aja. Kita cari tempat enak," ujarnya mengajak.
"Hayu. Geje juga kalo sendirian,"
Akhirnya saya pun mengikuti teman saya tersebut mencari spot yang enak untuk nobar. Setelah lama mencari, didapatkanlah tempat menonton yang lumayan maknyus. Sialnya, tempat itu di belakang layar, sehingga kami menonton pertandingan secara reverse. Ah, peduli amat. Yang penting bisa menonton, gumam saya dalam hati.
Pertandingan pun berjalan. Liverpool begitu dominan dalam laga tersebut. Pergerakan pemain yang cair, umpan-umpan pendek yang mengalir, dan determinasi pemain yang tinggi sangat terlihat dalam permainan The Reds malam itu. Berkat permainan yang ciamik itu, gol demi gol pun bergelontoran ke gawang Arsenal. Setiap kali para pemain The Reds mencetak gol, kami berjingkrak-jingkrak merayakan (Kalo saya sih, ikut rame aja, hehehe).
Satu, dua, tiga, empat, sampai lima gol berhasil disarangkan oleh para pemain Liverpool dalam pertandingan tersebut. Arsenal hanya mampu membalas satu saja. Saat pertandingan akan usai, saya sudah tidak peduli dengan pertandingan karena Liverpool pasti meraih kemenangan. Namun, ada sesuatu yang membuat saya akhirnya menahan kaki saya untuk keluar dari GOR Pajajaran pada malam itu. Selain karena suara ejekan suporter Liverpool kepada suporter Arsenal, terlihat dari tribun tengah, seorang suporter Liverpool menyalakan suar (flare). GOR Pajajaran yang temaram pun menjadi terang benderang untuk sementara.
(*Maaf lagi tidak ada foto, tak ada kamera maka tak ada dokumentasi. Kampreet...*)
Sejenak, saya pun berpikir. Saya pindah ke salah satu sudut GOR yang tidak terlalu ramai, lalu menyalakan rokok saya (rokok dapat minta dari suporter yang lain). Saya pun berpikir, untuk apa kalian sampai se-fanatik ini? Saya mengerti tentang ke-fanatik-an kalian yang rela melewatkan Sabtu atau Minggu malam, sendiri ataupun bersama orang tercinta, dengan menonton Liverpool. Apalagi, suporter Liverpool regional Indonesia sudah mendapatkan pengakuan dari Liverpool sana dan menjadi official. Tapi, please, ini bukan Anfield!
Saya pun bukannya anti dengan suar. Saat menonton Persib di stadion Si Jalak Harupat beberapa waktu sebelum nobar di GOR Pajajaran, saya sempat larut berpesta bersama bobotoh yang menyalakan suar untuk merayakan kemenangan Persib Bandung dalam sebuah pertandingan. Meski pada akhirnya dihukum oleh PSSI, tapi, saya ikut larut karena saya merasakan keterikatan yang kuat. Tim yang saya dukung ada di depan mata, di stadion, sedang bertanding. Lagipula, stadion itu berada di tempat terbuka. Asapnya pun paling-paling hanya akan menyambar stadion, meracuni pemain dan ofisial tim, ataupun membumbung ke langit dan mencemari stratosfer.
Tapi, ini sungguh keterlaluan. Senang sih boleh saja. Merayakan kemenangan boleh-boleh saja. Tapi, apa harus sampai se-berlebihan ini? Jika dilampiaskan dengan minum bir dan bernyanyi-nyanyi selayak hooligan ning Inggris sana yo, ra opo-opo. Tapi, aduh, sampai menyalakan suar di ruangan tertutup semacam GOR? Pak, saya melihat banyak anak-anak di situ. Mbok ya fanatik sih fanatik, tapi, perhatikan juga keadaan sekitar.
Saya bukannya tidak suka melihat ke-fanatik-an kalian, tapi, ya, lain kali mbok ya perhatikan keadaan sekitar. Pernah suatu masa teman saya bercerita, bahwa kerap kali terjadi pertengkaran antar suporter klub Eropa (kalau tidak salah Inter Milan dan Juventus) saat suporternya regional Indonesia mengadakan nobar. Juga suporter-suporter provokatif yang kerap melakukan provokasi. Aduh, ini bukan Inggris atau Italia, bung, Ngapain anda melakukan itu? Ngapaiiiin?
Saya masih bisa paham kalau suporter Jakmania dan Viking bentrok, ataupun Aremania dan Bonek saling baku hantam. Tapi, Juventini dan Interisti regional Indonesia bertengkar? Waw. Benar-benar tidak paham saya.
Singkat kata, suar pun akhirnya mati, tepat dengan pertandingan yang usai. Semua senang, semua bahagia, tak terkecuali suporter Liverpool. Saya pun senang karena kembali bisa ngobrol dengan kecengan saya dalam jalan pulang. Ia begitu senang, sampai-sampai keesokan paginya ia membuat status kemenangan 5-1 tersebut dalam akun media sosialnya. Saya memahami hal tersebut dan hanya ikut tersenyum saja. Hehehehe.
Namun, tentang apa yang saya lihat malam itu, tentu akan terperam dalam ingatan saya dalam jangka waktu yang lama. Selain karena saya menontonnya bersama orang yang saya suka, tapi, saya melihat sebentuk fanatisme lain. Fanatisme yang, cukup jauh jika ingin sampai ke tanah Inggris sana.
We Are The Famous, The Famous Kopites!
*by: Sandy 'Sonay' Firdaus
Lalaki mana deui, san?
ReplyDeleteWoh, aya editor idolaque mampir euy. Ieu karunya si Sonay gagal move on wae, coba lah rada di tatar :(
DeleteGarandeng lah euy api api menyamarkan nama kitu Diary of Disguise :(
ReplyDeleteXianying galaq euy qaqa admin bendera-offside :(
ReplyDelete