23 December 2022

Piala Dunia: Sentimen, Kenangan, Penyesalan Diri Sendiri Serta Momen Keabadian Messi


Lagi-lagi setelah absen selama dua tahun lebih, hasrat ingin menulis datang lagi. Tentu saja Piala Dunia 2022 di Qatar jadi pemantiknya, apalagi Lionel Messi baru saja dinobatkan jadi juara dunia. Andai saja bukan Messi yang juara, mungkin saya sumeh untuk nulis iseng lagi.

Ah sebelum lebih lanjut, saya mau menyapa owner lainnya dari blog ini, saudara Sandy Sonay. 

Kumaha kabar Nay? Jakarta aman? Sing penting mah sararehat bagja nya bro. Waas pisan euy ngopi di Gegerkalong deui.

***

Oke kita mulai. Gausah berat dan formal lah ya. Ieu mah sekadar merayakan comeback menulis dan merayakan Messi.

Berbicara tentang Piala Dunia, banyak yang mesti dibahas dan dicurhatkan. Tahun 2018 silam nyaris gak punya memori apapun setelah di edisi 2014 masih perih berkat gol Mario Gotze di final antara Jerman vs Argentina saat itu. Ekspektasi di 2018 memang nyaris biasa saja apalagi kawan nobar dan main sudah sibuk bekerja dan sebagian besar beralih ke luar Bandung.

Tarik mundur ke 2014, Piala Dunia musim panas di Brazil saat itu jadi acuan. Aing pribadi masih dalam proses penulisan skripsi di akhir 2013 ke awal 2014. Keinginan besar saat itu untuk menyelesaikan skripsi dan wisuda adalah tak ingin terlilit SPP semesteran dan juga ingin menonton Piala Dunia tanpa harus silang sengkarut dengan bimbingan dan penulisan skripsi.

Janji ini dijalani getol oleh saya sendiri dan juga Adnan, rekan sekelas, rekan tertawa, rekan nongkrong, rekan sesama penggila bola. Meski beda pembimbing, tapi akhirnya kami sukses daftar sidang bersama, hingga wisuda bersama. Di kala orang lain sibuk mencari WPW alias Wanita Pendamping Wisuda, kami berdua gak peduli-peduli amat dengan WPW dan lebih fokus bersiap untuk menyambut pesta akbar sepakbola empat tahunan tersebut.

Singkat cerita, Spanyol dan Argentina jadi pegangan pribadi karena banyak pemain El Barça dan juga Messi. Saat La Furia Roja tersungkur di fase grup, Argentina melenggang ke partai final. Harapan untuk melihat Messi angkat trofi paling prestis se-Dunia muncul dan peluang ini jelas tak bisa dilewatkan begitu saja.

Jika diingat-ingat, saat itu pas bertepatan dengan bulan Ramadhan, sepak mula dimulai dini hari jelang waktu sahur. Riuh rendah balai kota Pemkot Bandung jadi saksi saya lunglai dengan gol Gotze di perpanjangan waktu. Untuk sekedar makan sahur pun waktu itu memaksakan diri karena puasa wajib di esok hari.

Sebetulnya, ya bagaimana ya, dengan segala rekor gilanya di level klub yang tidak usah disebutkan lagi, Messi layak merengkuh trofi Piala Dunia 2014 saat itu. Tahun 2014 juga jadi salah satu dari sedikit penyesalan saya saat melanjutkan sekolah. Dalam hati kecil (dulu), mungkin ada baiknya mengulang ke momen final, Messi bisa juara dunia, dan saya bisa memutuskan masa depan dengan jauh lebih bijak.

Oke, kini waktunya timeskip ke 2022…

***

Up and Down Lionel Messi di kancah Internasional

Euforia juara Copa America dan Finalissima dari Argentina membuat ekspektasi membuncah. Messi kini jauh dikelilingi dengan pemain yang mau jungkir balik dan berperang untuknya. Phillip Lahm, eks andalan Jerman saat juara dunia 2014 menyebut, “Argentina is my favourite for this FIFA World Cup. In 2014 his teammates seemed to be waiting for Lionel Messi to solve everything on his own against us - in 2022 they play for him," di artikelnya.

Prediksi Lahm tepat. Timnas Argentina dibawah komando Messi bermain seperti prajurit sparta bertato yang siap mati untuk Messi dan negaranya di lapangan. Darah muda Julian Alvarez dan Enzo Fernandez yang tak henti mengejar bola dan menekan lawan, Emi Martinez, Rodrigo de Paul dan Leandro Paredes yang ahli dalam provokasi lawan serta pengalaman para senior seperti Nicolas Otamendi dan Angel di Maria menjadi resep mujarab Albiceleste kali ini.

Keinginan banyak pemirsa dan juga media yang mengharapkan Messi vs Cristiano di final memang tak terjadi. Kedua berbeda nasib dan Messi melangkah jauh menahbiskan diri sebagai salah satu yang abadi di sepakbola. Final antara Messi versus Prancis-nya Kylian Mbappe yang juga juara bertahan pun disebut sebagai salah satu final terbaik sepanjang masa bagi penonton netral dan bikin meriang bagi pendukung salah satunya.

Penantian banyak fans sejak 2014 yang terbayar di tahun 2022 ini adalah jalan panjang yang tak mudah. Caci maki drama undur diri pensiun timnas dari Messi jadi cemoohan massa selama bertahun-tahun. Satu hal yang pasti, jika mengambil ikhtibar dari perjalanan Messi di kancah dunia adalah; hidup tak selalu mulus dan percayalah, dengan kerja keras pasti ada kesempatan kedua untuk mewujudkan semuanya.

Buat aing pribadi, Piala Dunia 2022 ini memang fokus dengan perjalanan Messi. Memang sesekali menonton bocil Gavi-Pedri di Spanyol namun mereka belum matang untuk itu semua.

Dari total 64 laga yang disiarkan oleh layanan streaming berbayar, saya pribadi hanya menonton sepertiganya saja, dipikir-pikir rugi memang karena berlangganan penuh namun tak menonton hampir semuanya. Toh, memang lelah juga terus menerus nonton bola. Setidaknya, bisa menyaksikan penampilan upacara pembuka yang diramaikan oleh Jung Kook BTS dan penampilan final penutup angkat trofi oleh Messi menjadi hal yang luar biasa di tahun ini.

Keinginan-keinginan masa lalu untuk memutar waktu memang tak akan pernah terwujud dan tak pernah ada pilihan untuk itu di masa depan. Penyesalan pribadi soal pilihan melanjutkan sekolah di 2014 silam mungkin akan sedikit demi sedikit akan terjawab hikmahnya seperti akhirnya Messi yang sukses angkat trofi dengan cara yang luar biasa di tahun 2022 ini.

Toh dipikir-pikir saya dan kita semua memang tak bisa serakah. Tahun 2014 silam, punya kesempatan untuk bergembira karena Persib juara Liga Indonesia setelah berpuasa 19 tahun lamanya. Kini saatnya untuk merayakan yang lain dan waktunya tepat untuk menjadikan Messi abadi dalam status G.O.A.T alias Greatest of All Time di dunia sepakbola dan olahraga.

***

Ya segitu dulu lah dari aing @bmzakky, lumayan udah 900-an kata nulis setengah jam kali ini. Adios permios sampai jumpa di tulisan berikutnya yang kemungkinan review anime sepakbola! Ciao!

 

09 November 2020

Aoki Densetsu Shoot!: Ketika Drama Berpadu dengan Logika


Hai gaes! Kembali bagi dengan saya Sandy Firdaus alias Sonay alias sandy_kribo di blog hamblah ini. Yah, akhirnya ada lagi juga kesempatan buat isi tulisan di sini, setelah terakhir saya ngisi dengan pembahasan yang sok berat, yaitu "Pertandingan Sepak Bola Adalah Karya Sastra". Ka mana atuhh!!

Jadi, tulisan saya ini akan berkelindan dengan apa yang pernah dituliskan oleh Bunyanum Marsus Zakky alias Zakky BM beberapa waktu lalu. Setelah sekian lama hiatus, pria tampan asal Serang ini akhirnya menulis kembali di blog ini, dengan tema kesukaannya: anime.

Dalam tulisannya, Zakky menyinggung masa kecilnya dengan menuliskan soundtrack dari anime Aoki Densetsu Shoot!. Memang, kalau saya dengar-dengar lagi lagunya, menarik semua kenangan saya ketika masih SD. Saat itu, Shoot! ditayangkan di TV7, dan saya kerap menyaksikannya selepas sholat maghrib dan ngaji.

Shoot! ketika itu bersanding dengan anime-anime bola yang rutin ditayangkan TV7, seperti Captain Tsubasa versi lawas (bukan versi remake yang muncul sekarang), serta Whistle!, yang menceritakan sosok Sho Kazamatsuri. Nah, pada 2016 silam, saya iseng-iseng menyaksikan anime ini lagi. 

Tidak cuma anime, saya pun membaca semua komik Shoot! yang terbagi dalam empat bagian, mulai dari Shoot!, Shoot! Hot Challenge, Shoot! In Memory, dan Shoot! The Legend of New Age. Semua manga ini saling berhubungan, dan akhirnya menjadi satu kesatuan cerita yang apik.

Nah, jadi bagaimana sih, sebenarnya manga dan anime Shoot! itu? Sesuai dengan apa yang Zakky bilang dalam tulisannya, saya akan sedikit mengulasnya di sini.

***

Sebenarnya, cerita dari manga dan anime Shoot! ini berpusat pada tiga tokoh utama, yaitu Tanaka Toshihiko (Toshi), Hiramatsu Kazuhiro, dan Shiraishi Kenji. Ketiganya merupakan atlet sepak bola andal yang kebetulan bertemu di SMP Kakenishi, yang ingin masuk Kakegawa karena mengidolakan Yoshiharu Kubo.


Sisanya, cerita-cerita dalam manga dan anime Shoot! ini terbilang ringan untuk diikuti. Semua seputar masa pencarian jati diri semasa SMA, serta kisah romansa yang melibatkan Kazumi, Toshi, dan Kazuhiro. Lucu juga melihat gelagapannya Toshi di depan Kazumi, serta rasa suka dalam hati yang kadang keluar dari mulut malah berupa ejekan.

Untuk sisi sepak bolanya sendiri, alih-alih hadirnya tokoh-tokoh dewa dengan kemampuan epik, Shoot! justru minim akan hal tersebut. Memang, patut diakui Kubo digambarkan sebagai karakter seperti itu. Dalam laga semifinal kejuaraan  musim panas lawan Kakekita, ia bahkan mampu melewati 11 pemain, sebelum akhirnya divonis meninggal dunia selepas laga.

Meninggalnya Kubo ini seolah jadi penegasan tentang konsep "tak ada manusia yang sempurna" di dalam manga dan anime ini. Kubo memang dewa, tetapi ia punya leukeumia yang pada akhirnya merenggut nyawanya. 

Toshi, sebagai karakter utama jika digambarkan tidak sempurna amat. Terlepas dari 'Kiri Ajaib' serta kemampuan menyatukan tim yang ia punya, ia juga punya mental yang rapuh. Hal-hal macam inilah yang membuat manga dan anime Shoot! terasa lebih realistis, dibandingkan Tsubasa tentunya.

Shoot! ini sejatinya mirip-mirip dengan Whistle! dalam hal penggambaran karakter. Di Whistle! Sho Kazamatsuri sebagai tokoh utama tidak digambarkan laiknya dewa. Ia digambarkan semakin berkembang seiring pengalaman dan pertemuannya dengan karakter-karakter lain di dalam anime. Ia dibangun sedemikian rupa.


Begitu juga Shoot!. Toshi, Kazuhiro, dan Kenji berkembang seiring berjalannya cerita. Kamiya yang digambarkan sebagai sosok yang galak, selepas kepergian Kubo, perlahan mampu menurunkan egonya dan memimpin tim Kakegawa lewat kemampuan game making-nya yang menawan.

Hal yang sama juga terjadi dengan Shinichi Nitta, Yutaka Sasaki, dan karakter-karakter lain. Nitta yang awalnya penakut, jadi sosok yang kelak mampu mengembangkan perangkap offside. Sasaki yang awalnya cuma asal bawa bola, jadi mampu menyeimbangkan sayap Kakegawa yang lazimnya dominan dipegang Kazuhiro di sisi kanan.

Selain itu, hal yang menarik dari Shoot! ini adalah soal logika dalam sepak bola. Penjelasan soal taktik di dalam manga dan anime ini jadi sesuatu yang menarik. Memang, penjelasan taktiknya tidak sedalam anime dan manga Fantasista. Namun, setidaknya taktik inilah yang sejatinya menentukan menang atau kalah sebuah tim di dalam anime ini.

Contoh paling kentara adalah saat Kakegawa menghentikan taktik Flash Pass milik Fujita East. Dari situ, ayah Kazuhiro selaku penemu taktik ini, Hiramatsu Osamu, menyebut bahwa pada dasarnya "tidak ada taktik yang sempurna", atau merunut pada bahasa yang ia sampaikan: In any play, there's a weakness.

Akhirnya, Kazuhiro selaku anaknya sendiri, sukses menghentikan Flash Pass ini. Pertarungan taktik yang kerap terjadi ini pula yang menjadikan serial anime dan manga Shoot! jadi menarik. 

Anime Shoot! ini sendiri memiliki total 58 episode. Namun, cerita dari anime itu terputus manakala Kakegawa berhasil menembus babak final kejuaraan musim dingin. Pertandingan melawan SMA Teiko tidak diceritakan di sini.


Untuk menikmati keseluruhan cerita dari Shoot!, ada baiknya kalian membaca manga-nya juga, mulai dari Shoot! In Memory (bercerita tentang pertemuan Toshi, Kazuhiro, dan Kenji di SMP Kakenishi, yang dimotori oleh guru mereka, Yumiko Ohara), lalu baru lanjut ke Shoot! (cerita Toshi, Kazuhiro, dan Kenji di awal-awal masuk Kakegawa hingga Kakegawa masuk kejurnas musim dingin).

Setelah itu lanjut baca Shoot! Hot Challenge (perjuangan Kakegawa di turnamen musim panas, momen saat Kubo meninggal dunia), baru ditutup dengan Shoot! The Legend of New Age (kehadiran SMA Kurihama yang juga memiliki bocah dengan 'Kiri Ajaib', asuhan pelatih Toshi, Kazuhiro, dan Kenji ketika SMP, Yumiko Ohara).

Intinya, selain menyuguhkan cerita menarik berbalut keluguan, kedegilan, dan romansa khas anak SMA, Shoot! juga akan membuatmu setidaknya memahami taktik dasar sepak bola. Anime ini seolah-olah membuat sepak bola, pada dasarnya, adalah logika yang sejatinya bisa dipahami. Tentunya, berbalut romansa-romansa khas anak SMA.

 

   

06 October 2020

Pertandingan Sepak Bola Adalah Sebuah Karya Sastra

 


Alhamdulillah, setelah 1.100 hari lamanya, teman saya, Bunyanum Marsus Zakky alias Zakky BM, akhirnya menulis lagi untuk blog ini. Sebuah rentang waktu yang lama untuk hiatus. Padahal, dulu beliau adalah salah satu sosok produktif yang rutin mengisi blog ini, di kala saya didera kesibukan bekerja di ibu kota dalam rentang waktu 2017 hingga kini.

Yah, sedikit terpacu dengan semangat Zakky, saya pun mencoba untuk mengisi blog hamblah ini lagi, setelah sebelumnya sempat rutin mengisi sekira Juli – Agustus 2020 kemarin. Mencoba sedikit melipir dari per-anime-an, saya ingin mengingat-ingat lagi apa yang pernah saya pelajari ketika kuliah dulu.

Jadi, selama masa kuliah saya di Indonesia University of Education (sebut saja UPI-lah, meni alabatan), saya mengambil program studi Bahasa dan Sastra Inggris. Prodi ini lebih dari sekadar menerjemahkan teks dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia atau sebaliknya. Lebih jauh, cakrawala saya mengenai Bahasa terbuka lebar di sini.

Selain belajar kebahasaan (linguistik), saya juga belajar banyak mengenai kesusastraan. Saya banyak membaca teori-teori macam feminisme, post-kolonialisme, strukturalisme, dekonstruksi, bahkan juga belajar mengenai semiotika bahasa. Saya juga belajar tentang studi budaya di sini (cultural studies tah kerennya, mah). Tak heran, keluar kelas, kadang kepala terasa pening karena banyaknya diskusi.

Namun, saya menikmati itu semua. Beberapa pelajaran malah masih ada yang menempel di dalam otak. Salah satunya adalah tentang teks. Hal itu akan jadi pokok pembahasan dalam tulisan kali ini. Tentang bagaimana sebuah pertandingan sepak bola, sejatinya, adalah sebuah teks.

***

Dalam bukunya yang berjudul An Introduction to Literary Studies, Mario Klarer menulis bahwa teks adalah sesuatu yang universal. Ia tidak hanya menjelma sesuatu yang tertulis saja di atas kertas, melainkan semua hal yang tampak di dunia ini. Malah, Klarer juga menyebut jika zaman dahulu, lukisan-lukisan di gua dan cerita-cerita dari mulut ke mulut juga adalah teks.

Lebih jauh, Klarer mengungkapkan bahwa elemen-elemen visual, grafis, dan juga semua hal yang menyiratkan sesuatu yang bias ditafsirkan dapat masuk dalam kategori teks. Ia memisahkan teks dalam tiga tipe: genre, text type, dan discourse. Jika genre terikat dalam teks-teks yang sifatnya tertulis, text type dan discourse mencakup pengertian teks yang lebih luas.

Menilik pengertian Klarer di atas, dapat disimpulkan jika teks adalah sesuatu yang bisa ditafsirkan dan mengandung pesan di dalamnya, dalam bentuk apa pun itu. Alhasil, tanda-tanda yang kerap kalian lihat dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dalam bentuk tulisan ataupun bentuk tanda, seperti spanduk, grafis, bahkan emoticon, itu adalah teks.

Nah, berdasarkan pengertian di atas pula, saya berpendapat bahwa pertandingan sepak bola juga adalah sebuah teks. Loh, mengapa demikian?

Pertandingan sepak bola adalah sesuatu yang menarik. Ia tidak sekadar menang atau kalah. Sebuah football match juga nyatanya dapat dianalisis. Kadang, hasil analisis itu bisa beragam, tergantung dari sudut pandang mana yang kita ambil. Istilahnya, pisau yang kita gunakan sebagai analisis sekaligus titik peristiwa yang kita telisik akan memengaruhi hasil analisis yang kita lakukan.

Hal ini mirip dengan proses analisis sebuah karya sastra. Satu karya sastra bisa menghasilkan analisis yang beragam. Satu karya sastra akan menghasilkan banyak tafsir, tergantung pisau (dalam hal ini pendekatan teori sastra) serta beberapa bacaan atau pengalaman yang pernah kita alami sebelumnya. Intertekstualitas.

Nah, dari dua penjelasan di atas, bisakah kalian melihat sebuah kemiripan? Yap, betul.

Hasil analisis jadi beragam tergantung oleh beberapa factor. Dalam pertandingan sepak bola, hasil analisis bergantung kepada titik apa yang kita jadikan analisis, pendekatan yang kita gunakan, serta subjektivitas kita sendiri. Oleh karena itu, jangan heran jika Manchester United kalah dalam sebuah pertandingan, akan ada beragam tafsir yang hadir.


Bisa jadi, ada orang yang menilai kekalahan United didasari oleh bek sayap yang telat turun membantu serangan. Ada juga yang menimpali jika United kalah akibat dua bek tengah yang minim koordinasi, sehingga mampu dieksploitasi lawan. Atau, ada juga yang akan bilang United kalah karena para penyerangnya gagal memaksimalkan peluang.

Itulah kekhasan dari sebuah analisis pertandingan sepak bola. Keberagaman itu yang menjadi khazanah dari sepak bola, menjadikannya olahraga yang menarik serta digeluti oleh hampir seluruh masyarakat di dunia. Apa yang ada di baliknya menjadi sesuatu yang menarik untuk diangkat ke permukaan.

Hal serupa pun kerap terjadi dalam analisis karya sastra. Satu novel atau cerpen dapat menghasilkan analisis yang berbau feminis, post-kolonialis, atau bahkan terdekonstruksi sedemikian rupa. Diskusi-diskusi mengenai perbedaan hasil analisis inilah yang menjadi bagian dari khazanah kesusastraan itu sendiri.

Jadi, pada dasarnya pertandingan sepak bola adalah karya sastra yang siap untuk dianalisis. Siapa penulisnya? Tentu saja pelatih dan pemain selaku lakon utama, serta orang-orang di belakang klub dan federasi sebagai lakon pembantu. Mereka-lah yang menyajikan karya yang siap dianalisis dan ditelisik oleh khalayak masyarakat.

***

Yang namanya sastra, menurut dosen saya dulu, adalah tentang mengetahui sesuatu yang ada di balik dinding. Teman saya memiliki pendapat yang lebih unik lagi. Ia menyebut bahwa sastra adalah kehidupan itu sendiri. Pada dasarnya, ia mengajarkan kita untuk menerima perbedaan, belajar untuk lebih menghargai sesama, serta tidak menjadi sosok yang judgmental. Manusia pada dasarnya adalah teks yang sudah mengandung susunan sintagmatik dan paradigmatik mereka masing-masing.

Begitu juga pertandingan sepak bola. Ia adalah sebuah teks yang siap untuk dikupas oleh para penikmatnya. Ia terdiri dari susunan sintagmatik dan paradigmatik mereka masing-masing. Ia juga memiliki sesuatu di balik dinding yang tentunya menarik jika diangkat ke permukaan.

Oleh karena itu, dalam ranah teks sepak bola, pelatih dan pemain jadi penulis. Mengapa demikian? Karena di tangan mereka-lah, kalah, menang, dan seri bisa ditentukan. Lalu, laiknya teks karya sastra yang kerap mengandung dua sisi atau dua suara, pertandingan sepak bola juga akan menghadirkan dua sosok: si pemenang dan yang kalah.

 

29 September 2020

Mencoba Untuk Comeback: Bayar Utang Ke Sonay Dengan Nostalgia OST Shoot

 


Ah sudah lama sekali. Ini seriusan euy, geus lila pisan sejak 23 September 2017 silam hingga tulisan ini dibuat pada 28 September 2020, saya, @bmzakky tidak login ke blog ini. Sampai-sampai, akun Google pun enggan memberi verifikasi cepat buat saya untuk login ke sini.

Ada jarak 1100 hari (iya, seribu seratus hari) sejak tanggal 23 September 2017 tersebut dan sohib ane yang juga pengelola blog ini, yaitu mas-mas Kribo, Sandy Sonay, sudah menuliskan empat tulisan di tahun 2020. Saya merasa berhutang & bersalah euy sejujurnya. Saya berulang kali bilang ke Sonay kalau kemampuan tulis menulis saya tambah buruk saja hingga saat ini.

Jika boleh flashback sedikit, periode 2016-2017 saat itu saya masih cukup getol menulis long-form karena tuntutan pekerjaan. Bung Sonay pun demikian. Seiring waktu, saya sempat masih menulis 2018-2019 tapi memang hanya mentok di hard news dan mengeditnya. Keinginan menulis long-form sirna dan blog ini jadi sarang laba-laba dan beberapa bagian sudah dimakan rinyuh kayaknya.

Ah iya, diantara 2018-19 pun cs Sonay juga sibuk mempersiapkan pernikahannya. Haduh aing tinggaleun lagi aja nih. Tapi gapapa, ceuk pepatah mah hidup bukan perihal dulu-duluan atau balap-balapan. Tsah~

***

Di tengah pandemi COVID-19 yang semakin tak terkendali, saya akhir pekan lalu harus melakukan perjalanan singkat ke Cilegon untuk menyelesaikan beberapa urusan. Bersama kawan yang berangkat dari Serang, saya pergi ke tempat tujuan.

Singkat cerita, urusan tersebut selesai dan kami kembali di sore harinya ke tempat kami. Salah satu kawan saya meminta kabel AUX di mobil untuk dikoneksikan ke sound yang terpasang di mobil. Ternyata dia menyetel beberapa lagu cover nostalgia lawas dari ponsel pintarnya  termasuk beberapa dari OST (Osriginal Soundtrack) anime/kartun tahun 90an.

Lantunan lagu demi lagu bergulir sampai akhirnya ada satu lagu yang ia tanyakan kepada saya. Sebagai sesama generasi 90an, dia mengaku familiar dengan lagu tersebut namun ia lupa serial anime apa yang mempunyai soundtrack seperti ini…

Setiap saat bayang slalu hadir menerpa
walau pikiranku slalu
dipenuhi kebohongan
Namun semua membuatku sangat suka
Karna semua beban berat tak kurasakan

Rasa itu selalu ada dalam hatiku
Membuat gelora membara
di setiap langkahku
Genggam erat semangat di setiap nafasku
Oh kini semuanya tlah mulai berubah

Kebahagiaan bukan kebohongan
Kan kubuktikan semuanya padamu
Bahwa diriku tlah banyak berubah
Karna dirimu...

Kepercayaan kunci kemenangan
Kan kutuliskan di dalam ingatan
Kau berikan sinar kekuatan
Hingga ku tegar...

Setiap saat bayang slalu hadir menerpa
walau pikiranku slalu
dipenuhi kebohongan
Namun semua membuatku sangat suka
Karna semua beban berat tak kurasakan

Rasa itu selalu ada dalam hatiku
Membuat gelora membara
di setiap langkahku
Genggam erat semangat di setiap nafasku
Oh kini semuanya tlah mulai berubah

Kebahagiaan bukan kebohongan
Kan kubuktikan semuanya padamu
Bahwa diriku tlah banyak berubah
Karna dirimu...

Kepercayaan kunci kemenangan
Kan kutuliskan di dalam ingatan
Kau berikan sinar kekuatan
Hingga ku tegar...


Saya spontan ngahuleung sambil sing a long karena memang lirik dan nadanya tak asing bagi saya. Saya coba membongkar banyak selipan di memeori saya dan tetap saja kesulitan mengingatnya. Saya menyerah. Saya membiarkan mbah Google yang lebih sakti dari ingatan saya untuk mencari lirik lagu seperti ini. Kawan saya malah berseloroh bahwa ini adalah OST dari Kurochan.

Mbah Google bekerja dengan baik dan boooom…

Ternyata ini lagu dari Aoki Densetsu Shoot atau biasa yang disapa SHOOT di masanya. Salah satu serial kartun/anime bertema sepakbola yang diadaptasi dari komik/manga yang berjudul sama. Manga nya diterbitkan tahun 1990 karangan Tsukasa Ooshima dan baru didaptasi jadi serial anime pada tahun 1993 silam. Di Indonesia, jika saya tak salah ingat, serial kartun ini mengudara di TV lokal pada awal 2000an. Mohon koreksinya, ya.

Serial Shoot, bagi saya pribadi, memang samar-samar. Saya pernah menontonnya namun memang tak semelekat seperti serial Kapten Tsubasa yang melegenda. Saya bahkan jika ditanya menceritakan inti dari serial Shoot ini, saya harus jujur bahwa saya lupa dan harus menontonnya ulang. Mungkin kapan-kapan jika Sonay masih ingat, ia bisa bercerita lebih banyak lagi tentang serial ini.

Tapi tentu saja ingatan saya tentang jalan ceritanya itu bukan masalah besar. Karena memang saya sangat menikmati lagu tersebut. Sangat menyenangkan rasanya bisa mengembalikan memori yang terkubur setelah sekian lama. Mungkin hampir dua dekade lantunan nada dan lirik ini terpendam di dimensi lain kepala saya.

Saya menelusuri beberapa sumber dan menemukan bahwa judul aslinya adalah “Sunao de Itai” yang dinyanyikan oleh WENDY. Aransemen dan range vokal yang klasik ala 90an sangat kental di versi aslinya yang berbahasa Jepang. Tapi bagi kami generasi 90an, tentu yang kami dengar adalah versi gubahan yang sudah berbahasa Indonesia.

Lagu-lagu serial kartun/anime 90an yang sudah digubah ke Bahasa Indonesia memang selalu jadi memori nostalgia selamanya. Setelah menemukan lagu ini, saya juga mencoba menelusuri beberapa OST serial jadul lain yang sudah di bahasa Indonesia-kan. Sekali lagi, cukup membahagiakan bisa mengngat hal-hal seperti ini. Saya seperti menemukan harta karun di tengah silang sengkarut masalah hidup dan kondisi sekitar yang sedang dalam masa pandemi ini.

Akhirul kalam, untuk mencoba comeback menulis kali ini cukup segini aja dulu lah yak. Semoga bisa konsisten lagi menulis satu tulisan per bulannya  apapun tentang sepakbola.  Lumayan lah segini mah udah sampe 800an kata meski kebantu sama lirik lagunya, hahahahahah.

Adios permios sampai jumpa di tulisan berikutnya dari @bmzakky. Nuhun mang Sonay atas inspirasinya!

06 September 2020

Pemain Timnas Indonesia, Bercerminlah dari Captain Tsubasa


Beberapa waktu yang lalu, keriuhan menghampiri Timnas Indonesia. Efek dari keriuhan ini begitu terasa, baik itu di media sosial maupun media massa. Apa yang sebenarnya terjadi?

Jadi, para pemain Indonesia ramai-ramai mengunggah makanan yang sedang mereka santap di media sosial. Alih-alih mengundang komentar positif, justru mereka mendapatkan cibiran.  Hal ini tak lepas dari jenis santapan yang mereka unggah. Mereka mempertontonkan makanan semacam nasi putih, rendang, opor ayam, telur balado, mie, serta jenis panganan lainnya.
 
Sejatinya, makanan yang mereka santap merupakan sesuatu yang lazim dimakan oleh orang Indonesia pada umumnya. Namun, dimotori oleh sebuah akun di Twitter, warganet ramai-ramai mengkritik hal ini. Dari semua pendapat yang muncul, ada keseragaman yang tampak: pemain sepak bola, selaku atlet profesional, mestinya bisa menjaga pola makan. Pasalnya, hal tersebut akan berpengaruh terhadap performa di atas lapangan.

Warganet juga memberi contoh para pesepak bola yang mampu menjaga pola makan, seperti Ryuji Utomo dan beberapa pemain Eropa. Menurut mereka, apa yang dilakukan oleh Ryuji dan para pemain Eropa itu memang sudah selayaknya patut untuk dilakukan. Prahara perihal makanan ini juga meruncing tatkala Shin Tae-yong mendepak beberapa penggawa Timnas U-19 dalam pemusatan latihan jelang Piala Asia U-19 2020.

Terdepaknya para pemain itu--beberapa merupakan eks penggawa Timnas U-16 di Piala AFF U-16 2018--menunjukkan bahwa ketegasan Shin, termasuk soal attitude dan pola makan, tidak pandang bulu. Siapa yang tidak ikut aturan, ia harus pergi.

Apalagi, ada beberapa unggahan di Instagram maupun Twitter yang memperlihatkan para penggawa Timnas U-19 memakan nasi bungkus. Warganet pun memuji kebijakan Shin tersebut, demi kemajuan sepak bola Indonesia. 

Namun, apakah perlu kritik itu disampaikan? Apakah memang pemain mesti memakan makanan bergizi untuk menunjang performa mereka di lapangan?

***

Mengingat kisruh yang terjadi belakangan ini, saya jadi teringat anime Captain Tsubasa: Road To 2002. Di dalam anime itu, ada cerita tatkala Tsubasa Ozora dan Kojiro Hyuga yang sedang mempersiapkan diri menuju Eropa. Demi meningkatkan kualitas dari Timnas Jepang, keduanya mengambil langkah ini.

Tsubasa, setelah menimba pengalaman di Brasil bersama Sao Paulo, memutuskan untuk bermain di Eropa bersama Catalonia (Barcelona di dunia nyata). Sedangkan Hyuga, berkat koneksi dari Matsumoto yang juga membawanya ke Perguruan Toho, berhasil menjejak tanah Italia. Di sana, ia menjalani trial bersama Piemonte (Juventus di dunia nyata). Alih-alih menjalani karier dengan sukses, keduanya justru menghadapi tembok besar.

Permainan Eropa yang cenderung fisikal dan mengandalkan taktik, membuat mereka sedikit kesulitan menembus tim inti. Tsubasa harus memulai dari tim Catalonia B, sedangkan Hyuga harus memulai dari bangku cadangan. Malah, Hyuga sempat bersitegang dengan pelatih fisik tim, yang mengkritik kondisi otot Hyuga. Ia bilang ototnya cenderung tidak seimbang. Sedangkan Tsubasa, ia harus bersaing dengan Rivaul agar mendapatkan satu tempat di posisi gelandang tengah.

Kesadaran Hyuga dan Tsubasa akan tingginya tembok sepak bola Eropa makin muncul tatkala Timnas Jepang menghadapi Belanda. Bermaterikan pemain kelas atas, berpadu dengan total football yang mereka mainkan, Jepang kalah telak secara permainan. Dari situ, Hyuga dan Tsubasa paham bahwa untuk meningkatkan level permainan Timnas Jepang, mereka perlu juga meningkatkan beberapa aspek individu.



Alhasil, mereka memulai latihan secara pribadi. Hyuga melunak dan akhirnya mau dilatih oleh pelatih fisik Piemonte. Tujuannya, untuk meningkatkan kekuatan otot sebelah kiri, otot yang selama ini jadi kelemahannya karena Hyuga terlalu banyak mengandalkan otot sebelah kanan. Sementara itu, Tsubasa berlatih bersama dokter olahraga yang juga merupakan dosen temannya, Manabu, di Hawaii. Di sana, Tsubasa melatih otot-otot dalam tubuhnya sehingga kelak ia dapat bersaing di Eropa.

Setelah menjalani latihan itu, Tsubasa dan Hyuga pun pada akhirnya mampu bersaing di Eropa. Tsubasa mulai mendapatkan tempat inti di lini tengah Catalonia, sedangkan Hyuga menjadi andalan di lini depan Piemonte. Jadi, dengan tujuan agar bisa bermain di Eropa dan meningkatkan level sepak bola Jepang, Tsubasa dan Hyuga rela melakukan hal demikian. Nah, bagaimana dengan pemain Indonesia?

***

Pemain sepak bola, sejatinya, adalah rakyat biasa. Mereka sama seperti kita, yang sehari-harinya tentu doyan menyantap makanan seperti pecel lele, baso, maupun soto ayam. Makanan macam itu memang menggugah selera.

Namun, jika memang tujuan mereka adalah untuk meningkatkan level permainan serta agar Indonesia dapat bersaing di pentas Asia maupun dunia, alangkah baiknya jika mereka mampu mengesampingkan makanan-makanan di atas. Apalagi, dewasa ini beberapa negara di Asia sudah menerapkan sport science. Agar kekuatan otot tetap terjaga, asupan gizi yang baik juga adalah hal mutlak, selain tentunya latihan yang dilakukan secara berkala dan teratur.

Ada contoh nyata--selain Tsubasa dan Hyuga dari dunia anime--yang bisa ditiru pemain Indonesia: Chanathip Songkrasin. Ia selalu mendobrak batas dirinya. Meski sempat sedih karena ia pindah dari BEC Tero Sasana, tim kota kelahirannya, ia tak patah arang. Agar kemampuan sepak bolanya meningkat, ia rela pindah ke Muangthong United. Ia juga berani hijrah ke J-League, membela Consodale Sapporo. Alhasil, berkat keinginannya dalam menabrak batas diri, ia jadi salah satu talenta andalan sepak bola Thailand. 

Nah, sekarang, semua kembali kepada para pemain itu sendiri. Jika memang sudah puas dengan capaian selaku pemain Liga 1 dan tidak ingin bersaing di kancah dunia, silakan-silakan saja jika ingin terus menyantap baso, soto ayam, nasi putih, pecel lele, dan makanan lainnya. Toh, sejatinya itu wajar dan para pemain menggunakan uangnya sendiri, kan? 

Namun, tentunya mereka harus berpikir dua kali untuk rutin mengonsumsi panganan di atas jika memang target mereka adalah menembus level dunia.

19 August 2020

Bayar Hutang ke Zakky: Soal Defensive Forward Bernama Haruhiko Kubota

Haruhiko Kubota. Foto: myanimelist.net
 

Saya baru ingat, kalau saya punya satu hutang ke Zakky BM. Hutang untuk membahas perkara Haruhiko Kubota, salah satu karakter dalam manga dan anime Giant Killing.

FYI, hutang ini sebenarnya sudah diingatkan Zakky sejak jauh-jauh hari, terutama setelah ia menerbitkan tulisan berjudul Tsukamoto the Suffaco. Tulisan itu Zakky buat setelah kami berdiskusi di Twitter mengenai defensive forward pada 2017.

Kala itu, saya menyebut bahwa di anime dan manga Giant Killing, ada pemain yang juga bertipe Suffaco seperti itu. Ia merupakan bagian dari empat penyerang Osaka Gunners bersama Hauer, Katayama, dan Hatake.

Namanya adalah Kubota. Meski tidak se-nyentrik Takeshi Tatsumi selaku tokoh utama dan Daisuke Tsubaki yang kerap mengejutkan, Kubota adalah sosok yang menarik untuk ditelisik.

Berikut adalah ulasan singkat dari sosok Kubota ini. . .

***

Osaka Gunners jadi tim yang cukup mendominasi dalam semesta Giant Killing. Di bawah asuhan pelatih asal Belanda, Dulfer, mereka menempati papan atas J-League. Lini depan mereka jadi salah satu yang paling ditakuti.

Mereka memiliki dua pemain sayap cepat dalam diri Katayama dan Hatake. Di posisi penyerang tengah, ada Hauer yang andal dalam sundulan dan post play. Mereka semua juga andal dalam sirkulasi bola di area sepertiga akhir.

Namun, saat Osaka menghadapi East Tokyo United, Tatsumi menyadari bahwa tajamnya serangan Osaka bukan disebabkan oleh ketiga pemain itu. Ada satu sosok yang membuat serangan Osaka bak ombak tsunami yang tak henti menerjang.

Tatsumi pun menyebut nama Kubota di situ. Dalam pandangannya, Kubota-lah pemain yang paling berbahaya di lini depan Osaka. Pelatih Timnas Jepang, Jean Blanc, yang juga kebetulan menyaksikan laga itu, mengamini pandangan Tatsumi.

Lalu, apa yang bikin Kubota jadi sosok yang mengerikan? Dalam anime Giant Killing episode 21, Tatsumi menjelaskannya dengan rinci. Kira-kira penjelasannya seperti ini.

"Yang membuat serangan Osaka menakutkan adalah, mereka tidak kehilangan bola di area pertahanan lawan. Memang, semua penyerang mereka mampu menahan bola dengan baik. Mereka juga mampu mensirkulasikan bola serta berkomunikasi satu sama lain."

"Alhasil, itu bikin bek kita kerap membuang bola secara asal. Nah, masalahnya, bola muntah itu akhirnya didapatkan oleh siapa? Osaka bisa menndapatkan semua bola muntah itu. Alhasil, serangan mereka terus mengalir tanpa henti."

"Dan, pemain yang sukses mengambil banyak bola muntah itu adalah dia, Kubota."

Sebuah penjelasan taktikal dari Tatsumi. Ia langsung menyadari tentang berbahayanya sosok Kubota dibandingkan para penyerang yang lain. Namun, penjelasannya mengenai talenta dari Kubota ini juga cukup menarik perhatian. Apakah itu?

"Alasan kenapa ia (Kubota) punya visi sebagus itu, mungkin berasal dari pengalamannya dulu saat bermain sebagai gelandang bertahan. Namun, intuisinya, bisa jadi merupakan sebuah bakat."

"Tidak buruk, Dulfer, kau memindahkan posisi Kubota sehingga talentanya mekar. Dan Sugie (bek ETU yang ditugaskan Tatsumi mengawal Kubota), jika kau tidak menyadari bakat dari Kubota ini, kau tak akan bisa mengalahkannya."

Penjelasan dari Tatsumi ini menarik, sekaligus mencerminkan visi dari sosok Dulfer, pelatih Osaka, yang dikisahkan berasal dari Belanda. Pelatih dari Belanda, lazimnya, menggilai sepak bola yang berbasiskan penguasaan bola, plus permutasi posisi, umpan pendek, dan serangan tanpa henti.

Timnas Belanda pada Piala Dunia 1974 mencerminkan pola permainan itu. Dipimpin oleh Johan Cruyff, mereka sukses menembus partai final PD 1974 lewat permainan atraktif bernama Total Football.

Permutasi posisi, umpan-umpan pendek nan cepat, plus pressing yang ketat, menjadi senjata apik mereka. Ditopang pula oleh kemampuan Cruyff selaku pembeda lewat skill-nya yang memang di atas rata-rata.

Pola permainan Belanda ini pun jadi inspirasi bagi pelatih-pelatih zaman sekarang, macam Pep Guardiola, Juergen Klopp, maupun Marcelo Bielsa. Tekanan yang ketat, bahkan saat lawan menguasai bola di area sendiri, jadi hal yang mutlak dilakukan untuk memutus sekaligus mengacaukan permainan lawan.

Sekilas, kemampuan dari Kubota ini mirip dengan kemampuan Tsukushi Tsukamoto, karakter dari manga dan anime Days. Tsukamoto juga mendapatkan kesadaran taktikal sebagai defensive forward tatkala ia ditempatkan sebagai bek dalam sebuah pemusatan latihan tim.

Nah, Kubota pun sama. Berkat pengalamannya sebagai gelandang bertahan, ia mampu menjadi defensive forward yang apik. Bedanya, ia tidak menekan laiknya Tsukamoto. Ia lebih memilih melakukan intersep, berdasarkan naluri dan pengalaman yang ia punya.

Selain menjadi distributor bola di lini serang (kemampuan passing Kubota pun di atas rata-rata), Kubota pun dapat menjadi pencetak gol. Ia memeragakannya dengan baik saat mengecoh Sugie, bek ETU, kemudian melakukan placing yang gagal dihalau Midorikawa, kiper ETU.

Tetapi, pada dasarnya tujuan dari permainan Kubota dan Tsukamoto ini sama: membuat serangan tim jadi tak terhenti. Alhasil, jika Kubota jadi penyerang keempat Osaka, Tsukamoto pun digadang-gadang menjadi Fourth Arrow, setelah Hisahito Mizuki, Jin Kazama, dan Kiichi Oshiba.

Seiseki dan Osaka pun jadi tim dengan lini serang yang menakutkan dalam dimensi manga dan anime mereka masing-masing.

***

Ya, kehadiran Kubota sebagai seorang defensive forward menjadikan Giant Killing jadi suguhan menarik. Apalagi, di manga, kelak diceritakan bahwa Kubota jadi karib pemain kunci ETU, Tsubaki, baik itu di Timnas Jepang U-22 maupun senior, meneruskan tradisi duet Hanamori-Mochida, senior mereka.

Permainan menariknya merupakan buah dari kecerdasan dan kelihaian Dulfer membaca potensi Kubota. Hal itu juga yang menunjukkan bahwa Dulfer merupakan pelatih kelas atas di manga dan anime Giant Killing.

Namun, meski begitu, Tatsumi tetap dapat menemukan anti-tesis dari permainan Dulfer ini. Apa pasal? Di akhir laga, ETU menang dengan skor 3-2 dan sukses menghentikan rekor kemenangan Osaka,

Hal ini sekilas mirip seperti Guardiola yang mengalami kebuntuan saat menghadapi Inter Milan-nya Jose Mourinho, 2010 silam. Yah, yang namanya taktik memang fana sih. Kemenangan yang abadi mah. Eta ge ceuk mang Zen RS.

 

14 August 2020

Fantasista Masih Dibutuhkan oleh Dunia

Halo, guys! Kembali bersua lagi dengan saya Sandy Firdaus alias Turbo alias Sandy Kribo. Yah, setelah berbagai turbulensi yang terjadi dalam hidup, saya memutuskan untuk menulis lagi di blog ini.

Teruntuk rekan saya, Bunyanum Marsus Zakky alias Zakky BM, saya dengar dia akan fokus ke dunia pendidikan. Semoga dikau tetap bisa mengampu blog ini meski nanti sudah jadi dosen yah!

Ngan omat zek, mun jadi dosen, ulah jadi dosen mesum siah, wkwk. Soalnya saya sudah sering mendengar kasus dosen yang suka menggoda mahasiswi. Besar harapan saya Zakky tidak jadi tenaga pendidik macam itu.

Lah, ini kok malah jadi ngomongin rencana si Zakky sih? Oke oke, back to the topic, jadi di sini, saya akan membahas lagi salah satu topik soal sepak bola. Fokus saya mengarah kepada sebuah istilah bernama Fantasista.

So, mari nikmati sajian dari saya ini. Jangan sungkan untuk berkomentar yaa!

***

Pertengahan Juni 2020. Selepas bekerja, iseng-iseng saya membuka Google dan berseluncur di dalamnya. Lama tak menemukan hal menarik, perhatian saya kemudian tertuju pada sebuah kata "Fantasista". Kata ini saya temukan saat saya menelusuri manga dan anime yang bertema sepak bola. Ia muncul di antara nama-nama tenar macam Captain Tsubasa maupun Giant Killing.