06 October 2020

Pertandingan Sepak Bola Adalah Sebuah Karya Sastra

 


Alhamdulillah, setelah 1.100 hari lamanya, teman saya, Bunyanum Marsus Zakky alias Zakky BM, akhirnya menulis lagi untuk blog ini. Sebuah rentang waktu yang lama untuk hiatus. Padahal, dulu beliau adalah salah satu sosok produktif yang rutin mengisi blog ini, di kala saya didera kesibukan bekerja di ibu kota dalam rentang waktu 2017 hingga kini.

Yah, sedikit terpacu dengan semangat Zakky, saya pun mencoba untuk mengisi blog hamblah ini lagi, setelah sebelumnya sempat rutin mengisi sekira Juli – Agustus 2020 kemarin. Mencoba sedikit melipir dari per-anime-an, saya ingin mengingat-ingat lagi apa yang pernah saya pelajari ketika kuliah dulu.

Jadi, selama masa kuliah saya di Indonesia University of Education (sebut saja UPI-lah, meni alabatan), saya mengambil program studi Bahasa dan Sastra Inggris. Prodi ini lebih dari sekadar menerjemahkan teks dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia atau sebaliknya. Lebih jauh, cakrawala saya mengenai Bahasa terbuka lebar di sini.

Selain belajar kebahasaan (linguistik), saya juga belajar banyak mengenai kesusastraan. Saya banyak membaca teori-teori macam feminisme, post-kolonialisme, strukturalisme, dekonstruksi, bahkan juga belajar mengenai semiotika bahasa. Saya juga belajar tentang studi budaya di sini (cultural studies tah kerennya, mah). Tak heran, keluar kelas, kadang kepala terasa pening karena banyaknya diskusi.

Namun, saya menikmati itu semua. Beberapa pelajaran malah masih ada yang menempel di dalam otak. Salah satunya adalah tentang teks. Hal itu akan jadi pokok pembahasan dalam tulisan kali ini. Tentang bagaimana sebuah pertandingan sepak bola, sejatinya, adalah sebuah teks.

***

Dalam bukunya yang berjudul An Introduction to Literary Studies, Mario Klarer menulis bahwa teks adalah sesuatu yang universal. Ia tidak hanya menjelma sesuatu yang tertulis saja di atas kertas, melainkan semua hal yang tampak di dunia ini. Malah, Klarer juga menyebut jika zaman dahulu, lukisan-lukisan di gua dan cerita-cerita dari mulut ke mulut juga adalah teks.

Lebih jauh, Klarer mengungkapkan bahwa elemen-elemen visual, grafis, dan juga semua hal yang menyiratkan sesuatu yang bias ditafsirkan dapat masuk dalam kategori teks. Ia memisahkan teks dalam tiga tipe: genre, text type, dan discourse. Jika genre terikat dalam teks-teks yang sifatnya tertulis, text type dan discourse mencakup pengertian teks yang lebih luas.

Menilik pengertian Klarer di atas, dapat disimpulkan jika teks adalah sesuatu yang bisa ditafsirkan dan mengandung pesan di dalamnya, dalam bentuk apa pun itu. Alhasil, tanda-tanda yang kerap kalian lihat dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dalam bentuk tulisan ataupun bentuk tanda, seperti spanduk, grafis, bahkan emoticon, itu adalah teks.

Nah, berdasarkan pengertian di atas pula, saya berpendapat bahwa pertandingan sepak bola juga adalah sebuah teks. Loh, mengapa demikian?

Pertandingan sepak bola adalah sesuatu yang menarik. Ia tidak sekadar menang atau kalah. Sebuah football match juga nyatanya dapat dianalisis. Kadang, hasil analisis itu bisa beragam, tergantung dari sudut pandang mana yang kita ambil. Istilahnya, pisau yang kita gunakan sebagai analisis sekaligus titik peristiwa yang kita telisik akan memengaruhi hasil analisis yang kita lakukan.

Hal ini mirip dengan proses analisis sebuah karya sastra. Satu karya sastra bisa menghasilkan analisis yang beragam. Satu karya sastra akan menghasilkan banyak tafsir, tergantung pisau (dalam hal ini pendekatan teori sastra) serta beberapa bacaan atau pengalaman yang pernah kita alami sebelumnya. Intertekstualitas.

Nah, dari dua penjelasan di atas, bisakah kalian melihat sebuah kemiripan? Yap, betul.

Hasil analisis jadi beragam tergantung oleh beberapa factor. Dalam pertandingan sepak bola, hasil analisis bergantung kepada titik apa yang kita jadikan analisis, pendekatan yang kita gunakan, serta subjektivitas kita sendiri. Oleh karena itu, jangan heran jika Manchester United kalah dalam sebuah pertandingan, akan ada beragam tafsir yang hadir.


Bisa jadi, ada orang yang menilai kekalahan United didasari oleh bek sayap yang telat turun membantu serangan. Ada juga yang menimpali jika United kalah akibat dua bek tengah yang minim koordinasi, sehingga mampu dieksploitasi lawan. Atau, ada juga yang akan bilang United kalah karena para penyerangnya gagal memaksimalkan peluang.

Itulah kekhasan dari sebuah analisis pertandingan sepak bola. Keberagaman itu yang menjadi khazanah dari sepak bola, menjadikannya olahraga yang menarik serta digeluti oleh hampir seluruh masyarakat di dunia. Apa yang ada di baliknya menjadi sesuatu yang menarik untuk diangkat ke permukaan.

Hal serupa pun kerap terjadi dalam analisis karya sastra. Satu novel atau cerpen dapat menghasilkan analisis yang berbau feminis, post-kolonialis, atau bahkan terdekonstruksi sedemikian rupa. Diskusi-diskusi mengenai perbedaan hasil analisis inilah yang menjadi bagian dari khazanah kesusastraan itu sendiri.

Jadi, pada dasarnya pertandingan sepak bola adalah karya sastra yang siap untuk dianalisis. Siapa penulisnya? Tentu saja pelatih dan pemain selaku lakon utama, serta orang-orang di belakang klub dan federasi sebagai lakon pembantu. Mereka-lah yang menyajikan karya yang siap dianalisis dan ditelisik oleh khalayak masyarakat.

***

Yang namanya sastra, menurut dosen saya dulu, adalah tentang mengetahui sesuatu yang ada di balik dinding. Teman saya memiliki pendapat yang lebih unik lagi. Ia menyebut bahwa sastra adalah kehidupan itu sendiri. Pada dasarnya, ia mengajarkan kita untuk menerima perbedaan, belajar untuk lebih menghargai sesama, serta tidak menjadi sosok yang judgmental. Manusia pada dasarnya adalah teks yang sudah mengandung susunan sintagmatik dan paradigmatik mereka masing-masing.

Begitu juga pertandingan sepak bola. Ia adalah sebuah teks yang siap untuk dikupas oleh para penikmatnya. Ia terdiri dari susunan sintagmatik dan paradigmatik mereka masing-masing. Ia juga memiliki sesuatu di balik dinding yang tentunya menarik jika diangkat ke permukaan.

Oleh karena itu, dalam ranah teks sepak bola, pelatih dan pemain jadi penulis. Mengapa demikian? Karena di tangan mereka-lah, kalah, menang, dan seri bisa ditentukan. Lalu, laiknya teks karya sastra yang kerap mengandung dua sisi atau dua suara, pertandingan sepak bola juga akan menghadirkan dua sosok: si pemenang dan yang kalah.

 

No comments:

Post a Comment