Halo, guys! Kembali bersua lagi dengan saya Sandy Firdaus alias Turbo alias Sandy Kribo. Yah, setelah berbagai turbulensi yang terjadi dalam hidup, saya memutuskan untuk menulis lagi di blog ini.
Teruntuk rekan saya, Bunyanum Marsus Zakky alias Zakky BM, saya dengar dia akan fokus ke dunia pendidikan. Semoga dikau tetap bisa mengampu blog ini meski nanti sudah jadi dosen yah!
Ngan omat zek, mun jadi dosen, ulah jadi dosen mesum siah, wkwk. Soalnya saya sudah sering mendengar kasus dosen yang suka menggoda mahasiswi. Besar harapan saya Zakky tidak jadi tenaga pendidik macam itu.
Lah, ini kok malah jadi ngomongin rencana si Zakky sih? Oke oke, back to the topic, jadi di sini, saya akan membahas lagi salah satu topik soal sepak bola. Fokus saya mengarah kepada sebuah istilah bernama Fantasista.
So, mari nikmati sajian dari saya ini. Jangan sungkan untuk berkomentar yaa!
***
Pertengahan Juni 2020. Selepas bekerja, iseng-iseng saya membuka Google dan berseluncur di dalamnya. Lama tak menemukan hal menarik, perhatian saya kemudian tertuju pada sebuah kata "Fantasista". Kata ini saya temukan saat saya menelusuri manga dan anime yang bertema sepak bola. Ia muncul di antara nama-nama tenar macam Captain Tsubasa maupun Giant Killing.
Tanpa pikir panjang, saya langsung buka "Fantasista". Awalnya, saya disuguhkan oleh anime Fantasista Stella, yang bercerita tentang Timnas Jepang melawan Real Madrid. Diceritakan, tokoh utama anime itu, Sakamoto Teppei, memilih membela Madrid karena ia tak mendapat tempat di skuat Jepang. Namun, di sinilah keseruan itu bermula.
Dengan permainannya yang bak fantasista, Teppei memukau seisi penonton di stadion. Dua gol plus satu assist-nya membawa Madrid unggul 4-2 atas Jepang di laga itu. Ia ditopang oleh Ozma dan Ronaldo, dua kompatriotnya di Madrid, dalam membongkar lini pertahanan Samurai Biru. Penampilan apiknya ini juga mengundang decak kagum dari Carlo Grosso, pelatih Jepang.
Grosso pun berterima kasih kepada Teppei. Pasalnya, Teppei telah menyadarkan para pemain Jepang tingginya level permainan sepak bola dunia. Di akhir anime, Teppei pun ditawari untuk balik membela Timnas Jepang di ajang Pra-Piala Dunia dan Piala Dunia 2014 di Brasil. Ia kembali bersua musuh abadinya, Marco Quelle, yang juga merupakan penggawa Timnas Italia.
Setelah menyaksikan anime itu, langsung saya mencari versi manga-nya. Saya lahap semua dalam waktu semalaman, dari mulai Teppei main di SMA Mizumoto hingga ia membela tim Primavera AC Milan di Italia sana. Kisahnya sungguh menarik. Teppei melalui banyak hal, bahkan sempat dibenci oleh rekan setimnya sendiri di Timnas Jepang junior saat ajang J-Cup.
Dari situ, ketertarikan saya akan "Fantasista" ini mulai menyeruak. Imajinasi dalam permainan, mendobrak batas-batas akal sehat, serta membangkitkan decak kagum dari penonton, hal itulah yang tampak dari sosok Teppei. Kehebatannya sebagai "Fantasista" diakui banyak orang, entah itu musuh ataupun rekan setim yang pernah ia hadapi.
Sepak bola, selain perkara hitungan statistik dan angka, juga menyoal imajinasi dan seni. Nah, menurut sebuah tulisan di laman Football Italia berjudul Fantasista - The Art of Number 10, fantasista-lah yang membuat imajinasi dan seni itu jadi nyata. Ia adalah buah dari keindahan sepak bola sebagai permainan, membuat olahraga ini jadi salah satu olahraga yang paling digemari di kolong jagat.
Kata "fantasista" sendiri, secara etimologi, berasal dari bahasa Italia yang berarti pelaku fantasi artistik. Merunut arti itu, sudah jelas bahwa fantasista adalah orang yang penuh dengan seni dan fantasi. Jika pelukis menggunakan kanvas, pesepak bola menggunakan bola dan lapangan untuk mengekspresikan fantasi seninya.
Menurut tulisan di laman Asymmetric Football, fantasista memiliki karakteristik seperti berikut: kualitas yang sublim, kemampuan individu dan olah bola yang sangat apik, serta ketidakpastian. Heh, ketidakpastian? Ya, namanya juga orang penuh fantasi, magi tentu jadi bagian dari permainannya. Magi inilah yang kadang sukar ditebak dan bikin penonton terperangah.
Di dalam manga dan anime Fantasista, Teppei kerap memeragakan hal magis yang membuat orang, bahkan rekan setimnya, keheranan sekaligus kagum. Ia mendobrak batas dengan permainannya, yang terkadang membuat orang di sekitarnya geleng-geleng kepala. Namun, itulah ejawantah dari fantasista.
Pemain-pemain macam Roberto Baggio, Alessandro Del Piero, Francesco Totti, serta Diego Armando Maradona, adalah secuil bukti dari para fantasista di dunia sepak bola. Ingatkah kalian gol Maradona ke gawang Inggris di Piala Dunia 1986? Ingat pula kalian gol Totti ke gawang Inter Milan di musim 2005/06?
Momen-momen itu begitu lekang dalam ingatan. Meski hanya berlangsung sepersekian menit saja, kilatan magi itu mengena dan masuk alam bawah sadar orang-orang. Itulah fantasista, ia membuat sepak bola jadi lebih berwarna.
Namun, dewasa ini, peran fantasista jadi tidak terlalu menonjol. Sistem dan taktik yang semakin berkembang, ditambah ritme permainan sepak bola yang jadi lebih cepat, membuat fantasista kehilangan ruang kreasi. Mereka dipaksa untuk mengikuti sistem, yang pada akhirnya justru memudarkan fantasi yang mungkin mereka miliki.
Di anime Fantasista, Teppei mengalami hal ini. Permainannya yang tidak selaras dengan sistem Jepang membuatnya tersingkir. Grosso menilai tidak ada sosok yang mampu mengimbangi talenta Teppei. Lain hal di Madrid. Ruang kreasi begitu besar karena ia ditopang sosok-sosok besar macam Ozma dan Ronaldo, plus sistem dari Van Galen yang membuatnya hidup.
Hal yang sama juga terjadi di Inggris, negara yang katanya merupakan rumah dari sepak bola. Mereka begitu tabu akan hal berbau fantasista. Dalam tulisan di laman These Football Times, berjudul Why have England traditionally feared the fantasista?, bakat-bakat macam Glenn Hoddle maupun Matthew Le Tissier tidak berkembang. Caps Timnas Inggris mereka terbilang sedikit.
Menilik sistem sepak bola zaman sekarang, memang tidak salah jika sebuah tim tidak perlu kehadiran fantasista. Asalkan patuh pada taktik dan skema main, sebuah tim bisa meraih hasil apik. Fleksibilitas pada perubahan sistem juga jadi hal yang mutlak, jika sebuah tim ingin menggenggam kemenangan. Tim-tim yang diasuh Pep Guardiola maupun Juergen Klopp sudah membuktikan itu.
Namun, terlepas dari itu semua, peran fantasista sebenarnya masih dibutuhkan di sepak bola zaman sekarang. Sistem, taktik, maupun skema main, adalah hal yang baku. Memang, ada yang namanya fleksibilitas. Namun, tetap saja yang namanya sistem, taktik, dan skema main bergantung pada hal-hal yang bersifat empiris dan terukur.
Sedangkan di sisi lain, fantasista mendobrak itu semua. Imajinasi mereka melewati berbagai sistem yang ada. Fantasi mereka melebihi formasi-formasi dasar macam 4-4-2, 4-3-3, maupun 3-5-2. Di kaki mereka, kondisi sebuah tim bisa berubah drastis hanya dengan satu umpan, gol, serta sentuhan pada bola.
Alhasil, layaknya kehadiran fantasista di tengah maraknya penggunaan Catenaccio di sepak bola Italia, pemain-pemain macam itu masih dibutuhkan di dunia sepak bola dewasa ini. Bukan tanpa sebab. Seperti yang dikatakan Akira Takajo dalam anime Area no Kishi, sesuatu yang tidak berjalan sesuai rencana (dalam hal ini taktik maupun skema permainan) adalah bagian dari sepak bola.
Siapa model pemain yang tidak berjalan sesuai rencana itu? Tentunya, Fantasista!
No comments:
Post a Comment