06 September 2020

Pemain Timnas Indonesia, Bercerminlah dari Captain Tsubasa


Beberapa waktu yang lalu, keriuhan menghampiri Timnas Indonesia. Efek dari keriuhan ini begitu terasa, baik itu di media sosial maupun media massa. Apa yang sebenarnya terjadi?

Jadi, para pemain Indonesia ramai-ramai mengunggah makanan yang sedang mereka santap di media sosial. Alih-alih mengundang komentar positif, justru mereka mendapatkan cibiran.  Hal ini tak lepas dari jenis santapan yang mereka unggah. Mereka mempertontonkan makanan semacam nasi putih, rendang, opor ayam, telur balado, mie, serta jenis panganan lainnya.
 
Sejatinya, makanan yang mereka santap merupakan sesuatu yang lazim dimakan oleh orang Indonesia pada umumnya. Namun, dimotori oleh sebuah akun di Twitter, warganet ramai-ramai mengkritik hal ini. Dari semua pendapat yang muncul, ada keseragaman yang tampak: pemain sepak bola, selaku atlet profesional, mestinya bisa menjaga pola makan. Pasalnya, hal tersebut akan berpengaruh terhadap performa di atas lapangan.

Warganet juga memberi contoh para pesepak bola yang mampu menjaga pola makan, seperti Ryuji Utomo dan beberapa pemain Eropa. Menurut mereka, apa yang dilakukan oleh Ryuji dan para pemain Eropa itu memang sudah selayaknya patut untuk dilakukan. Prahara perihal makanan ini juga meruncing tatkala Shin Tae-yong mendepak beberapa penggawa Timnas U-19 dalam pemusatan latihan jelang Piala Asia U-19 2020.

Terdepaknya para pemain itu--beberapa merupakan eks penggawa Timnas U-16 di Piala AFF U-16 2018--menunjukkan bahwa ketegasan Shin, termasuk soal attitude dan pola makan, tidak pandang bulu. Siapa yang tidak ikut aturan, ia harus pergi.

Apalagi, ada beberapa unggahan di Instagram maupun Twitter yang memperlihatkan para penggawa Timnas U-19 memakan nasi bungkus. Warganet pun memuji kebijakan Shin tersebut, demi kemajuan sepak bola Indonesia. 

Namun, apakah perlu kritik itu disampaikan? Apakah memang pemain mesti memakan makanan bergizi untuk menunjang performa mereka di lapangan?

***

Mengingat kisruh yang terjadi belakangan ini, saya jadi teringat anime Captain Tsubasa: Road To 2002. Di dalam anime itu, ada cerita tatkala Tsubasa Ozora dan Kojiro Hyuga yang sedang mempersiapkan diri menuju Eropa. Demi meningkatkan kualitas dari Timnas Jepang, keduanya mengambil langkah ini.

Tsubasa, setelah menimba pengalaman di Brasil bersama Sao Paulo, memutuskan untuk bermain di Eropa bersama Catalonia (Barcelona di dunia nyata). Sedangkan Hyuga, berkat koneksi dari Matsumoto yang juga membawanya ke Perguruan Toho, berhasil menjejak tanah Italia. Di sana, ia menjalani trial bersama Piemonte (Juventus di dunia nyata). Alih-alih menjalani karier dengan sukses, keduanya justru menghadapi tembok besar.

Permainan Eropa yang cenderung fisikal dan mengandalkan taktik, membuat mereka sedikit kesulitan menembus tim inti. Tsubasa harus memulai dari tim Catalonia B, sedangkan Hyuga harus memulai dari bangku cadangan. Malah, Hyuga sempat bersitegang dengan pelatih fisik tim, yang mengkritik kondisi otot Hyuga. Ia bilang ototnya cenderung tidak seimbang. Sedangkan Tsubasa, ia harus bersaing dengan Rivaul agar mendapatkan satu tempat di posisi gelandang tengah.

Kesadaran Hyuga dan Tsubasa akan tingginya tembok sepak bola Eropa makin muncul tatkala Timnas Jepang menghadapi Belanda. Bermaterikan pemain kelas atas, berpadu dengan total football yang mereka mainkan, Jepang kalah telak secara permainan. Dari situ, Hyuga dan Tsubasa paham bahwa untuk meningkatkan level permainan Timnas Jepang, mereka perlu juga meningkatkan beberapa aspek individu.



Alhasil, mereka memulai latihan secara pribadi. Hyuga melunak dan akhirnya mau dilatih oleh pelatih fisik Piemonte. Tujuannya, untuk meningkatkan kekuatan otot sebelah kiri, otot yang selama ini jadi kelemahannya karena Hyuga terlalu banyak mengandalkan otot sebelah kanan. Sementara itu, Tsubasa berlatih bersama dokter olahraga yang juga merupakan dosen temannya, Manabu, di Hawaii. Di sana, Tsubasa melatih otot-otot dalam tubuhnya sehingga kelak ia dapat bersaing di Eropa.

Setelah menjalani latihan itu, Tsubasa dan Hyuga pun pada akhirnya mampu bersaing di Eropa. Tsubasa mulai mendapatkan tempat inti di lini tengah Catalonia, sedangkan Hyuga menjadi andalan di lini depan Piemonte. Jadi, dengan tujuan agar bisa bermain di Eropa dan meningkatkan level sepak bola Jepang, Tsubasa dan Hyuga rela melakukan hal demikian. Nah, bagaimana dengan pemain Indonesia?

***

Pemain sepak bola, sejatinya, adalah rakyat biasa. Mereka sama seperti kita, yang sehari-harinya tentu doyan menyantap makanan seperti pecel lele, baso, maupun soto ayam. Makanan macam itu memang menggugah selera.

Namun, jika memang tujuan mereka adalah untuk meningkatkan level permainan serta agar Indonesia dapat bersaing di pentas Asia maupun dunia, alangkah baiknya jika mereka mampu mengesampingkan makanan-makanan di atas. Apalagi, dewasa ini beberapa negara di Asia sudah menerapkan sport science. Agar kekuatan otot tetap terjaga, asupan gizi yang baik juga adalah hal mutlak, selain tentunya latihan yang dilakukan secara berkala dan teratur.

Ada contoh nyata--selain Tsubasa dan Hyuga dari dunia anime--yang bisa ditiru pemain Indonesia: Chanathip Songkrasin. Ia selalu mendobrak batas dirinya. Meski sempat sedih karena ia pindah dari BEC Tero Sasana, tim kota kelahirannya, ia tak patah arang. Agar kemampuan sepak bolanya meningkat, ia rela pindah ke Muangthong United. Ia juga berani hijrah ke J-League, membela Consodale Sapporo. Alhasil, berkat keinginannya dalam menabrak batas diri, ia jadi salah satu talenta andalan sepak bola Thailand. 

Nah, sekarang, semua kembali kepada para pemain itu sendiri. Jika memang sudah puas dengan capaian selaku pemain Liga 1 dan tidak ingin bersaing di kancah dunia, silakan-silakan saja jika ingin terus menyantap baso, soto ayam, nasi putih, pecel lele, dan makanan lainnya. Toh, sejatinya itu wajar dan para pemain menggunakan uangnya sendiri, kan? 

Namun, tentunya mereka harus berpikir dua kali untuk rutin mengonsumsi panganan di atas jika memang target mereka adalah menembus level dunia.

No comments:

Post a Comment