28 November 2016

Tsukamoto the Suffaco


Sebelum bulan November berganti menuju Desember, ada baiknya saya memulai mengisi laman blog Bendera-Offside ini setelah bulan Oktober lalu nyaris tak ada satu pun postingan. Mungkin kami berdua (saya Zakky, bersama si Sandi Sonay) ini sedang sibuk-sibuknya. Entah sibuk apa, yang jelas blog ini tercampakkan dan terlihat seperti seorang pria naïf yang mendekati gebetan namun akhirnya dia berpaling ke lain hati, uh... #naonlah

Pada awal-awal tayangnya blog ini, saya sempat menuliskan review dari anime sepakbola yang baru tayang pada 2016 ini dengan judul DAYS. Jika belum baca review ngacapruknya, klean semua bisa simak di sini. Saat itu baru berjalan 10 episode dan kini sudah mencapai 21 episode. Singkatnya, tiga pekan lagi kemungkinan anime DAYS season pertama ini akan segera usai tepat di episode 24.

Akhir pekan lalu, seperti biasa saya selalu stand-by untuk mengunduh per-episode dari serial DAYS ini. Tak sengaja mencuitkan opini perihal peran Tsukamoto Tsukushi pada episode 21 lalu di Twitter,
si Sandi Sonay membalas dengan cuitan bahwa Tsukamoto adalah pemain yang mungkin akan diperlukan oleh pelatih semacam Jurgen Klopp dan Josep Guardiola.

Bersamaan dengan hal tersebut, tetiba saya teringat dengan istilah suffaco. Nama/istilah suffaco memang tak se-familiar trequartista ataupun false nine, misalnya. Konon katanya, suffaco atau yang lebih banyak dikenal sebagai defensive forward ini mulai diaplikasikan oleh Sir Alex Ferguson ketika menangani Manchester United dulu. Katanya...

Entah benar atau tidak, saya tak bisa memastikan siapa yang paling pertama memakai istilah suffaco ini ataupun siapa yang pertama mengenalkan sekaligus mengaplikasikan suffaco ini dalam dunia sepakbola. Bahkan, sudah berulang kali menggunakan senjata terbaik yaitu 'mbah google' pun, saya tetap kesulitan mencari asal muasal dari suffaco ini. Yang jelas beberapa sumber mengatakan bahwa istilah ini hanya terkenal di kalangan jurnalis dan analis taktik sepakbola saja.

Kembali lagi ke peran Tsukamoto, pada gelaran Golden Week Training Camp yang diikuti oleh beberapa SMA di Jepang (ceritanya), termasuk SMA Seiseki, Tsukamoto yang berposisi sebagai penyerang pernah sekali diplot sebagai pemain bertahan. Ia dipaksa berpikir oleh pelatih tentang bagaimana dan apa yang seharusnya dipikirkan oleh penyerang lawan ketika berhadapan dengan pemain bertahan.

Pertukaran posisi ini nyatanya efektif untuk mendongkrak pemahaman Tsukamoto dan menjadi awal tonggak kebangkitan Tsukamoto sebagai seorang suffaco bagi tim SMA Seiseki. Pak pelatih kumis belang tampaknya tahu bahwa kelebihan paling menonjol dari Tsukamoto adalah stamina dan keinginannya yang terus berlari sepanjang pertandingan. Tsukamoto sendiri pernah berujar bahwa dirinya merupakan pemain terlemah di tim dan tak mempunyai skill. Oleh karena itu dirinya hanya perlu berlari paling banyak dari rekan-rekannya. Jangan lupa juga, Tsukamoto-lah yang cukup hobi latihan lari mengelilingi sekolah pada episode-episode awal lalu.

Coba baca subtitelnya. Bakat Tsukamoto adalah 'nyolong' second-ball alias bola muntahan.

Menjadi seorang suffaco (defensive forward), sudah barang pasti stamina adalah nomor wahid. Merusak build-up serangan lawan sejak sepertiga area awal milik lawan, terus berlari mengejar second ball (mudahnya, bola muntah) ketika rekan satu tim sedang nge-press lawan hingga memberikan teror berupa tekel dan intersep adalah bagian-bagian pekerjaan dari para suffaco di lapangan hijau. Saya kira, pemain yang menjalankan peran ini tampaknya harus mempunyai enam buah paru-paru di tubuhnya, hahaha. 

Tsukamoto, bagaimanapun juga, adalah murid kelas satu (junior) dan sudah pasti pemain cadangan. Kecuali Kazama Jin (sohib Tsukamoto) yang kelewat sakti, praktis semua murid kelas satu adalah cadangan. Pak pelatih kumis belang ini kerap memasukkan Tsukamoto di babak kedua untuk meningkatkan intensitas pressing bagi lawan sekaligus mendongkrak pace game yang mulai melambat. Tsukamoto adalah solusi untuk lari-larian di tengah lapangan.

Ceritanya, pada episode 21 lalu, para pemain andalan SMA Seiseki harus absen (Kazama, Mizuki, Ooshiba) karena cedera dan akumulasi kartu. Padahal, partai tersebut adalah semifinal regional sebelum kejuaraan nasional. Partai melawan SMA Keiou tersebut, praktis hanya Kimishita (playmaker) saja dari andalan lini serang yang bermain pada pertandingan tersebut.

Sudah jelas pula, Tsukamoto otomatis menjadi starter hari itu berkat banyaknya yang absen, termasuk Kurusu si jabrik absurd. Bagi pemain bertubuh mungil dan doyan canggung, Tsukamoto jelas tak dihiraukan lawan. Pertahanan SMA Keiou jelas tertuju mematikan Kimishita. Bagi mereka, jika playmaker mati, maka mati pula alur serangan tim.

Namun disinilah peran suffaco mulai terlihat. Tsukamoto yang terus berlari mengejar second ball sepanjang pertandingan terus terusan membikin tim lawan kehilangan bola dengan begitu cepat, secepat orang lain menikung gebetan kita. Ini mirip sekali dengan gegenpressing yang dilakukan oleh anak asuh Klopp di lapangan. Jangan lupakan juga bagaimana Guardiola menerapkan six second rule kepada anak asuhnya yang mewajibkan mendapatkan bola kembali pada enam detik setelah kehilangan bola. Pertahanan pertama dalah para penyerang, intinya.

Meski disebut hampir mirip, peran suffaco ini biasanya diemban oleh satu atau dua orang (dalam kasus ini, Tsukamoto) dalam satu tim. Skema gegenpressing atau six second rule biasanya diterapkan secara serempak oleh unit pemain sehingga pressing berjalan terstruktur dan mampu kembali menghasilkan peluang (naon lah, jiga yang betul wae ngomongin struktur pressing, hahaha). Intinya Tsukamoto sukses (sejauh ini, sampai episode 21) menjalankan peran sebagai suffaco bagi tim SMA Seiseki.

Suffaco bagi tim nasional Indonesia; Irfan Haarys Bachdim

Btw, ngomongin suffaco, jadi teringat dengan Irfan Bachdim yang absen pada gelaran Piala AFF 2016 ini. Pada skema 4-4-2 ala Alfred Riedl sepanjang uji tanding, Irfan Bachdim sangat-amat-fasih memainkan peran suffaco ini. Berlari tanpa henti, melakukan tracking back, kemudian pressing secara taktis hingga mencetak gol membikin Bachdim sangat ideal berduet dengan pace Boaz Solossa di lini depan. Namun sial seribu sial, cedera menimpa dan konsekuensinya, Indonesia bermain tanpa suffaco pada paggelaran Piala AFF 2016 ini.

Bachdim oh Bachdim, malang betul nasibmu brother L

Irfan Bachdim yang notebene-nya adalah 'pemain cadangan' klub level kedua J-League saja mampu bermain secemerlang itu, apalagi yang bermain menjadi pemain utama di level tertingginya, ya?

Oh iya, Bachdim ini kerap bernomor punggung 17, sama seperti Tsukamoto di SMA Seiseki yang juga bernomor punggung 17. Keduanya sama-sama seorang suffaco juga. Jadi author/mangaka DAYS yang terinspirasi oleh Irfan Bachdim atau malahan Irfan Bachdim yang terinspirasi Tsukamoto? Hahahahaha, bercanda!

Tapi yang jelas, sepakbola Jepang yang terstruktur secara fasilitas, pembinaan serta pelatihannya ini mampu membikin kualitas para pemain yang menempa ilmu disana berada di level yang berbeda. Jangan lupakan juga tabiat orang Jepang yang kerap mau berusaha keras yang membuat mereka mampu tumbuh menjadi pemain kenamaan Asia, bahkan dunia. 

*by: Zakky BM (@bmzakky)

2 comments:

  1. Min kalo ga salah di anime Giant Killing juga ada yang jadi suffaco, namanya Haruhiko Kubota, pemain Osaka Gunners. Dia awalnya defensive midfielder, tapi sama pelatihnya dipasang jadi penyerang dalam formasi 4-2-4 (atau 4-2-1-3, si Kubota yang satunya) dan jadi perebut bola di depan, mirip Tsukamoto. Coba tonton deh di anime Giant Killing eps 20-25. Thanks

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih infonya kak Sandy a.k.a Sonay. Silakan dituliskan dari sudut pandang anime Giant Killing ya, supaya agak rame-rame gimana gitu kan blog ini...

      Delete