Alhamdulillah, setelah 1.100 hari lamanya, teman saya, Bunyanum Marsus Zakky alias Zakky BM, akhirnya menulis lagi untuk blog ini. Sebuah rentang waktu yang lama untuk hiatus. Padahal, dulu beliau adalah salah satu sosok produktif yang rutin mengisi blog ini, di kala saya didera kesibukan bekerja di ibu kota dalam rentang waktu 2017 hingga kini.
Yah, sedikit terpacu dengan semangat Zakky, saya pun mencoba
untuk mengisi blog hamblah ini lagi, setelah sebelumnya sempat rutin
mengisi sekira Juli – Agustus 2020 kemarin. Mencoba sedikit melipir dari per-anime-an,
saya ingin mengingat-ingat lagi apa yang pernah saya pelajari ketika kuliah
dulu.
Jadi, selama masa kuliah saya di Indonesia
University of Education (sebut saja UPI-lah, meni alabatan), saya
mengambil program studi Bahasa dan Sastra Inggris. Prodi ini lebih dari sekadar
menerjemahkan teks dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia atau sebaliknya.
Lebih jauh, cakrawala saya mengenai Bahasa terbuka lebar di sini.
Selain belajar kebahasaan
(linguistik), saya juga belajar banyak mengenai kesusastraan. Saya banyak
membaca teori-teori macam feminisme, post-kolonialisme, strukturalisme,
dekonstruksi, bahkan juga belajar mengenai semiotika bahasa. Saya juga belajar
tentang studi budaya di sini (cultural studies tah kerennya, mah).
Tak heran, keluar kelas, kadang kepala terasa pening karena banyaknya diskusi.
Namun, saya menikmati itu semua.
Beberapa pelajaran malah masih ada yang menempel di dalam otak. Salah satunya
adalah tentang teks. Hal itu akan jadi pokok pembahasan dalam tulisan kali ini.
Tentang bagaimana sebuah pertandingan sepak bola, sejatinya, adalah sebuah
teks.
***
Dalam bukunya yang berjudul An
Introduction to Literary Studies, Mario Klarer menulis bahwa teks adalah
sesuatu yang universal. Ia tidak hanya menjelma sesuatu yang tertulis saja di
atas kertas, melainkan semua hal yang tampak di dunia ini. Malah, Klarer juga
menyebut jika zaman dahulu, lukisan-lukisan di gua dan cerita-cerita dari mulut
ke mulut juga adalah teks.
Lebih jauh, Klarer mengungkapkan
bahwa elemen-elemen visual, grafis, dan juga semua hal yang menyiratkan sesuatu
yang bias ditafsirkan dapat masuk dalam kategori teks. Ia memisahkan teks dalam
tiga tipe: genre, text type, dan discourse. Jika genre terikat dalam teks-teks
yang sifatnya tertulis, text type dan discourse mencakup pengertian teks yang
lebih luas.
Menilik pengertian Klarer di
atas, dapat disimpulkan jika teks adalah sesuatu yang bisa ditafsirkan dan
mengandung pesan di dalamnya, dalam bentuk apa pun itu. Alhasil, tanda-tanda
yang kerap kalian lihat dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dalam bentuk
tulisan ataupun bentuk tanda, seperti spanduk, grafis, bahkan emoticon, itu
adalah teks.
Nah, berdasarkan pengertian di atas
pula, saya berpendapat bahwa pertandingan sepak bola juga adalah sebuah teks. Loh,
mengapa demikian?
Pertandingan sepak bola adalah
sesuatu yang menarik. Ia tidak sekadar menang atau kalah. Sebuah football
match juga nyatanya dapat dianalisis. Kadang, hasil analisis itu bisa
beragam, tergantung dari sudut pandang mana yang kita ambil. Istilahnya, pisau
yang kita gunakan sebagai analisis sekaligus titik peristiwa yang kita telisik
akan memengaruhi hasil analisis yang kita lakukan.
Hal ini mirip dengan proses
analisis sebuah karya sastra. Satu karya sastra bisa menghasilkan analisis yang
beragam. Satu karya sastra akan menghasilkan banyak tafsir, tergantung pisau
(dalam hal ini pendekatan teori sastra) serta beberapa bacaan atau pengalaman
yang pernah kita alami sebelumnya. Intertekstualitas.
Nah, dari dua penjelasan di atas,
bisakah kalian melihat sebuah kemiripan? Yap, betul.
Hasil analisis jadi beragam
tergantung oleh beberapa factor. Dalam pertandingan sepak bola, hasil analisis
bergantung kepada titik apa yang kita jadikan analisis, pendekatan yang kita
gunakan, serta subjektivitas kita sendiri. Oleh karena itu, jangan heran jika
Manchester United kalah dalam sebuah pertandingan, akan ada beragam tafsir yang
hadir.
Itulah kekhasan dari sebuah
analisis pertandingan sepak bola. Keberagaman itu yang menjadi khazanah dari
sepak bola, menjadikannya olahraga yang menarik serta digeluti oleh hampir
seluruh masyarakat di dunia. Apa yang ada di baliknya menjadi sesuatu yang
menarik untuk diangkat ke permukaan.
Hal serupa pun kerap terjadi
dalam analisis karya sastra. Satu novel atau cerpen dapat menghasilkan analisis
yang berbau feminis, post-kolonialis, atau bahkan terdekonstruksi sedemikian
rupa. Diskusi-diskusi mengenai perbedaan hasil analisis inilah yang menjadi
bagian dari khazanah kesusastraan itu sendiri.
Jadi, pada dasarnya pertandingan
sepak bola adalah karya sastra yang siap untuk dianalisis. Siapa penulisnya?
Tentu saja pelatih dan pemain selaku lakon utama, serta orang-orang di belakang
klub dan federasi sebagai lakon pembantu. Mereka-lah yang menyajikan karya yang
siap dianalisis dan ditelisik oleh khalayak masyarakat.
***
Yang namanya sastra, menurut
dosen saya dulu, adalah tentang mengetahui sesuatu yang ada di balik dinding. Teman
saya memiliki pendapat yang lebih unik lagi. Ia menyebut bahwa sastra adalah
kehidupan itu sendiri. Pada dasarnya, ia mengajarkan kita untuk menerima
perbedaan, belajar untuk lebih menghargai sesama, serta tidak menjadi sosok
yang judgmental. Manusia pada dasarnya adalah teks yang sudah mengandung
susunan sintagmatik dan paradigmatik mereka masing-masing.
Begitu juga pertandingan sepak
bola. Ia adalah sebuah teks yang siap untuk dikupas oleh para penikmatnya. Ia
terdiri dari susunan sintagmatik dan paradigmatik mereka masing-masing. Ia juga
memiliki sesuatu di balik dinding yang tentunya menarik jika diangkat ke
permukaan.
Oleh karena itu, dalam ranah teks sepak bola, pelatih dan pemain jadi penulis. Mengapa demikian? Karena di tangan mereka-lah, kalah, menang, dan seri bisa ditentukan. Lalu, laiknya teks karya sastra yang kerap mengandung dua sisi atau dua suara, pertandingan sepak bola juga akan menghadirkan dua sosok: si pemenang dan yang kalah.