29 September 2020

Mencoba Untuk Comeback: Bayar Utang Ke Sonay Dengan Nostalgia OST Shoot

 


Ah sudah lama sekali. Ini seriusan euy, geus lila pisan sejak 23 September 2017 silam hingga tulisan ini dibuat pada 28 September 2020, saya, @bmzakky tidak login ke blog ini. Sampai-sampai, akun Google pun enggan memberi verifikasi cepat buat saya untuk login ke sini.

Ada jarak 1100 hari (iya, seribu seratus hari) sejak tanggal 23 September 2017 tersebut dan sohib ane yang juga pengelola blog ini, yaitu mas-mas Kribo, Sandy Sonay, sudah menuliskan empat tulisan di tahun 2020. Saya merasa berhutang & bersalah euy sejujurnya. Saya berulang kali bilang ke Sonay kalau kemampuan tulis menulis saya tambah buruk saja hingga saat ini.

Jika boleh flashback sedikit, periode 2016-2017 saat itu saya masih cukup getol menulis long-form karena tuntutan pekerjaan. Bung Sonay pun demikian. Seiring waktu, saya sempat masih menulis 2018-2019 tapi memang hanya mentok di hard news dan mengeditnya. Keinginan menulis long-form sirna dan blog ini jadi sarang laba-laba dan beberapa bagian sudah dimakan rinyuh kayaknya.

Ah iya, diantara 2018-19 pun cs Sonay juga sibuk mempersiapkan pernikahannya. Haduh aing tinggaleun lagi aja nih. Tapi gapapa, ceuk pepatah mah hidup bukan perihal dulu-duluan atau balap-balapan. Tsah~

***

Di tengah pandemi COVID-19 yang semakin tak terkendali, saya akhir pekan lalu harus melakukan perjalanan singkat ke Cilegon untuk menyelesaikan beberapa urusan. Bersama kawan yang berangkat dari Serang, saya pergi ke tempat tujuan.

Singkat cerita, urusan tersebut selesai dan kami kembali di sore harinya ke tempat kami. Salah satu kawan saya meminta kabel AUX di mobil untuk dikoneksikan ke sound yang terpasang di mobil. Ternyata dia menyetel beberapa lagu cover nostalgia lawas dari ponsel pintarnya  termasuk beberapa dari OST (Osriginal Soundtrack) anime/kartun tahun 90an.

Lantunan lagu demi lagu bergulir sampai akhirnya ada satu lagu yang ia tanyakan kepada saya. Sebagai sesama generasi 90an, dia mengaku familiar dengan lagu tersebut namun ia lupa serial anime apa yang mempunyai soundtrack seperti ini…

Setiap saat bayang slalu hadir menerpa
walau pikiranku slalu
dipenuhi kebohongan
Namun semua membuatku sangat suka
Karna semua beban berat tak kurasakan

Rasa itu selalu ada dalam hatiku
Membuat gelora membara
di setiap langkahku
Genggam erat semangat di setiap nafasku
Oh kini semuanya tlah mulai berubah

Kebahagiaan bukan kebohongan
Kan kubuktikan semuanya padamu
Bahwa diriku tlah banyak berubah
Karna dirimu...

Kepercayaan kunci kemenangan
Kan kutuliskan di dalam ingatan
Kau berikan sinar kekuatan
Hingga ku tegar...

Setiap saat bayang slalu hadir menerpa
walau pikiranku slalu
dipenuhi kebohongan
Namun semua membuatku sangat suka
Karna semua beban berat tak kurasakan

Rasa itu selalu ada dalam hatiku
Membuat gelora membara
di setiap langkahku
Genggam erat semangat di setiap nafasku
Oh kini semuanya tlah mulai berubah

Kebahagiaan bukan kebohongan
Kan kubuktikan semuanya padamu
Bahwa diriku tlah banyak berubah
Karna dirimu...

Kepercayaan kunci kemenangan
Kan kutuliskan di dalam ingatan
Kau berikan sinar kekuatan
Hingga ku tegar...


Saya spontan ngahuleung sambil sing a long karena memang lirik dan nadanya tak asing bagi saya. Saya coba membongkar banyak selipan di memeori saya dan tetap saja kesulitan mengingatnya. Saya menyerah. Saya membiarkan mbah Google yang lebih sakti dari ingatan saya untuk mencari lirik lagu seperti ini. Kawan saya malah berseloroh bahwa ini adalah OST dari Kurochan.

Mbah Google bekerja dengan baik dan boooom…

Ternyata ini lagu dari Aoki Densetsu Shoot atau biasa yang disapa SHOOT di masanya. Salah satu serial kartun/anime bertema sepakbola yang diadaptasi dari komik/manga yang berjudul sama. Manga nya diterbitkan tahun 1990 karangan Tsukasa Ooshima dan baru didaptasi jadi serial anime pada tahun 1993 silam. Di Indonesia, jika saya tak salah ingat, serial kartun ini mengudara di TV lokal pada awal 2000an. Mohon koreksinya, ya.

Serial Shoot, bagi saya pribadi, memang samar-samar. Saya pernah menontonnya namun memang tak semelekat seperti serial Kapten Tsubasa yang melegenda. Saya bahkan jika ditanya menceritakan inti dari serial Shoot ini, saya harus jujur bahwa saya lupa dan harus menontonnya ulang. Mungkin kapan-kapan jika Sonay masih ingat, ia bisa bercerita lebih banyak lagi tentang serial ini.

Tapi tentu saja ingatan saya tentang jalan ceritanya itu bukan masalah besar. Karena memang saya sangat menikmati lagu tersebut. Sangat menyenangkan rasanya bisa mengembalikan memori yang terkubur setelah sekian lama. Mungkin hampir dua dekade lantunan nada dan lirik ini terpendam di dimensi lain kepala saya.

Saya menelusuri beberapa sumber dan menemukan bahwa judul aslinya adalah “Sunao de Itai” yang dinyanyikan oleh WENDY. Aransemen dan range vokal yang klasik ala 90an sangat kental di versi aslinya yang berbahasa Jepang. Tapi bagi kami generasi 90an, tentu yang kami dengar adalah versi gubahan yang sudah berbahasa Indonesia.

Lagu-lagu serial kartun/anime 90an yang sudah digubah ke Bahasa Indonesia memang selalu jadi memori nostalgia selamanya. Setelah menemukan lagu ini, saya juga mencoba menelusuri beberapa OST serial jadul lain yang sudah di bahasa Indonesia-kan. Sekali lagi, cukup membahagiakan bisa mengngat hal-hal seperti ini. Saya seperti menemukan harta karun di tengah silang sengkarut masalah hidup dan kondisi sekitar yang sedang dalam masa pandemi ini.

Akhirul kalam, untuk mencoba comeback menulis kali ini cukup segini aja dulu lah yak. Semoga bisa konsisten lagi menulis satu tulisan per bulannya  apapun tentang sepakbola.  Lumayan lah segini mah udah sampe 800an kata meski kebantu sama lirik lagunya, hahahahahah.

Adios permios sampai jumpa di tulisan berikutnya dari @bmzakky. Nuhun mang Sonay atas inspirasinya!

06 September 2020

Pemain Timnas Indonesia, Bercerminlah dari Captain Tsubasa


Beberapa waktu yang lalu, keriuhan menghampiri Timnas Indonesia. Efek dari keriuhan ini begitu terasa, baik itu di media sosial maupun media massa. Apa yang sebenarnya terjadi?

Jadi, para pemain Indonesia ramai-ramai mengunggah makanan yang sedang mereka santap di media sosial. Alih-alih mengundang komentar positif, justru mereka mendapatkan cibiran.  Hal ini tak lepas dari jenis santapan yang mereka unggah. Mereka mempertontonkan makanan semacam nasi putih, rendang, opor ayam, telur balado, mie, serta jenis panganan lainnya.
 
Sejatinya, makanan yang mereka santap merupakan sesuatu yang lazim dimakan oleh orang Indonesia pada umumnya. Namun, dimotori oleh sebuah akun di Twitter, warganet ramai-ramai mengkritik hal ini. Dari semua pendapat yang muncul, ada keseragaman yang tampak: pemain sepak bola, selaku atlet profesional, mestinya bisa menjaga pola makan. Pasalnya, hal tersebut akan berpengaruh terhadap performa di atas lapangan.

Warganet juga memberi contoh para pesepak bola yang mampu menjaga pola makan, seperti Ryuji Utomo dan beberapa pemain Eropa. Menurut mereka, apa yang dilakukan oleh Ryuji dan para pemain Eropa itu memang sudah selayaknya patut untuk dilakukan. Prahara perihal makanan ini juga meruncing tatkala Shin Tae-yong mendepak beberapa penggawa Timnas U-19 dalam pemusatan latihan jelang Piala Asia U-19 2020.

Terdepaknya para pemain itu--beberapa merupakan eks penggawa Timnas U-16 di Piala AFF U-16 2018--menunjukkan bahwa ketegasan Shin, termasuk soal attitude dan pola makan, tidak pandang bulu. Siapa yang tidak ikut aturan, ia harus pergi.

Apalagi, ada beberapa unggahan di Instagram maupun Twitter yang memperlihatkan para penggawa Timnas U-19 memakan nasi bungkus. Warganet pun memuji kebijakan Shin tersebut, demi kemajuan sepak bola Indonesia. 

Namun, apakah perlu kritik itu disampaikan? Apakah memang pemain mesti memakan makanan bergizi untuk menunjang performa mereka di lapangan?

***

Mengingat kisruh yang terjadi belakangan ini, saya jadi teringat anime Captain Tsubasa: Road To 2002. Di dalam anime itu, ada cerita tatkala Tsubasa Ozora dan Kojiro Hyuga yang sedang mempersiapkan diri menuju Eropa. Demi meningkatkan kualitas dari Timnas Jepang, keduanya mengambil langkah ini.

Tsubasa, setelah menimba pengalaman di Brasil bersama Sao Paulo, memutuskan untuk bermain di Eropa bersama Catalonia (Barcelona di dunia nyata). Sedangkan Hyuga, berkat koneksi dari Matsumoto yang juga membawanya ke Perguruan Toho, berhasil menjejak tanah Italia. Di sana, ia menjalani trial bersama Piemonte (Juventus di dunia nyata). Alih-alih menjalani karier dengan sukses, keduanya justru menghadapi tembok besar.

Permainan Eropa yang cenderung fisikal dan mengandalkan taktik, membuat mereka sedikit kesulitan menembus tim inti. Tsubasa harus memulai dari tim Catalonia B, sedangkan Hyuga harus memulai dari bangku cadangan. Malah, Hyuga sempat bersitegang dengan pelatih fisik tim, yang mengkritik kondisi otot Hyuga. Ia bilang ototnya cenderung tidak seimbang. Sedangkan Tsubasa, ia harus bersaing dengan Rivaul agar mendapatkan satu tempat di posisi gelandang tengah.

Kesadaran Hyuga dan Tsubasa akan tingginya tembok sepak bola Eropa makin muncul tatkala Timnas Jepang menghadapi Belanda. Bermaterikan pemain kelas atas, berpadu dengan total football yang mereka mainkan, Jepang kalah telak secara permainan. Dari situ, Hyuga dan Tsubasa paham bahwa untuk meningkatkan level permainan Timnas Jepang, mereka perlu juga meningkatkan beberapa aspek individu.



Alhasil, mereka memulai latihan secara pribadi. Hyuga melunak dan akhirnya mau dilatih oleh pelatih fisik Piemonte. Tujuannya, untuk meningkatkan kekuatan otot sebelah kiri, otot yang selama ini jadi kelemahannya karena Hyuga terlalu banyak mengandalkan otot sebelah kanan. Sementara itu, Tsubasa berlatih bersama dokter olahraga yang juga merupakan dosen temannya, Manabu, di Hawaii. Di sana, Tsubasa melatih otot-otot dalam tubuhnya sehingga kelak ia dapat bersaing di Eropa.

Setelah menjalani latihan itu, Tsubasa dan Hyuga pun pada akhirnya mampu bersaing di Eropa. Tsubasa mulai mendapatkan tempat inti di lini tengah Catalonia, sedangkan Hyuga menjadi andalan di lini depan Piemonte. Jadi, dengan tujuan agar bisa bermain di Eropa dan meningkatkan level sepak bola Jepang, Tsubasa dan Hyuga rela melakukan hal demikian. Nah, bagaimana dengan pemain Indonesia?

***

Pemain sepak bola, sejatinya, adalah rakyat biasa. Mereka sama seperti kita, yang sehari-harinya tentu doyan menyantap makanan seperti pecel lele, baso, maupun soto ayam. Makanan macam itu memang menggugah selera.

Namun, jika memang tujuan mereka adalah untuk meningkatkan level permainan serta agar Indonesia dapat bersaing di pentas Asia maupun dunia, alangkah baiknya jika mereka mampu mengesampingkan makanan-makanan di atas. Apalagi, dewasa ini beberapa negara di Asia sudah menerapkan sport science. Agar kekuatan otot tetap terjaga, asupan gizi yang baik juga adalah hal mutlak, selain tentunya latihan yang dilakukan secara berkala dan teratur.

Ada contoh nyata--selain Tsubasa dan Hyuga dari dunia anime--yang bisa ditiru pemain Indonesia: Chanathip Songkrasin. Ia selalu mendobrak batas dirinya. Meski sempat sedih karena ia pindah dari BEC Tero Sasana, tim kota kelahirannya, ia tak patah arang. Agar kemampuan sepak bolanya meningkat, ia rela pindah ke Muangthong United. Ia juga berani hijrah ke J-League, membela Consodale Sapporo. Alhasil, berkat keinginannya dalam menabrak batas diri, ia jadi salah satu talenta andalan sepak bola Thailand. 

Nah, sekarang, semua kembali kepada para pemain itu sendiri. Jika memang sudah puas dengan capaian selaku pemain Liga 1 dan tidak ingin bersaing di kancah dunia, silakan-silakan saja jika ingin terus menyantap baso, soto ayam, nasi putih, pecel lele, dan makanan lainnya. Toh, sejatinya itu wajar dan para pemain menggunakan uangnya sendiri, kan? 

Namun, tentunya mereka harus berpikir dua kali untuk rutin mengonsumsi panganan di atas jika memang target mereka adalah menembus level dunia.